Rabu, 15 Juli 2015

Memantaskan 1

#gagal jadian

Dan mata kami pun bertemu. Cukup lama. Sampai aku sadari.
“Astagfirullah…” Segera kupalingkan wajahku darinya
“Maaf!” Begitu katanya ketika sadar aku tak suka ditatapnya lama-lama.
Aku meninggalkannya, hanya beberapa langkah. Tak lama dia pun menghampiriku.
“Maaf.” Ujarnya lagi.
Namun aku hanya terpaku, diam. Suasana hening cukup lama.
“Sha, Maaf!” Suaranya meninggi sedikit ketika aku tak kunjung bicara.
Aku menarik nafas sejenak. Kemudian kuhembuskan. Begitu berat. Nyaris membuatku sulit untuk bernafas.
“Di…” Suaraku terputus.
Adli menatapku. Tajam.
“Kamu kenapa begini?” Tanyaku mengulur waktu untuk menjawab pertanyaannya.
“Maaf, Sha. Tapi namanya juga perasaan…”
Adli tak meneruskan dialognya. Lagi, kami terdiam di bawah rembulan.
“Kamu pasti tau kan akan jawabanku?”
Adli tak menjawab. Ah… maaf! Kini batinku yang dirundung dilema. Kembali kucoba jatuhkan pandanganku pada matanya. Astagfirullah…
Adli kacau. Mukanya pucat. Gelagat tubuhnya seolah menunjukkan sedang gelisah. Aih… bagaimana mungkin ia tak gelisah. Aku telah membuatnya menunggu lama hanya untuk sebuah jawaban ya atau tidak.
“Maaf.” Batinku menangis.
“Di…” Suaraku lirih.
Matanya menohok jantungku, lagi. Segera kutundukkan kepala. Aku tak sanggup jika mata elangnya itu tembus ke bola mataku.
“Aku tak bisa…” Suaraku terputus.
Adli nyaris teriak. Tubuhnya bak cacing kepanasan ketika mendengar jawabanku. Sedangkan aku? Batinku menangis. Ini hal yang sulit bagiku. Lebih sulit ketimbang mengerjakan seratus soal matematika.
“Mengapa?” Mata itu seolah meminta jawaban.
“Kamu tahu akan prinsip hidupku, bukan?” Gemetar menjawab pertanyaannya.
Kami diam sejenak.
“Tapi kan…” Adli masih keukeuh untuk mengubah jawabanku.
Kutarik nafas sebenar.
“Jangan tanya perasaanku kini. Kurasa kamu tahu. Tapi untuk status itu… Ah. Maaf aku nggak bisa!” Butiran Kristal nyaris keluar dari mataku.
“Beneran nggak bisa? Aku janji deh bakal…”
“Stop, Di! Aku tak ingin mendengar janjimu. Ini sudah menjadi keputusanku. Kita sahabatan aja seperti sebelumnya. Dan… “ Nyaris kukeluarkan beberapa ayat dan hadist yang kini menjadi peganganku.
“Datanglah kepada orang tuaku bila kamu…” Aku memotong kalimat terakhirnya.
Mata tajam itu kini berubah menjadi sayu. Kini salah siapa, Tuhan? Aku mencintainya, sungguh. Namun untuk sebuah status itu… Ah aku tak bisa. Palu kehidupan telah kuketuk dan tekadku telah bulat.
Bukan sok agamais, Di. Bukan! Kelakuanku pun kadang masih menjengkelkan. Tak dipungkiri aku pun masih suka jalan dengan teman laki-laki. . Masih suka ketawa terpingkal-pingkal di depan laki-laki. Tapi dengan mereka aku tak ada apa-apa, Di. Beda dengan kamu.
Adli perlahan mengerti. Walau kutahu sulit bagiya untuk menerima keputusanku.
Hingga akhirnya dia melemparkan senyumannya, walau masih terlihat getir.
“Pulang, yuk!” Ajaknya ketika dia sudah mulai bisa mengontrol kegelisahannya.
Kami pun pulang. Di atas motor dan dibawah sinar rembulan, tak ada sedikit katapun yang terlontar dari bibir kami berdua. Diam seribu bahasa. Hingga dia sampai mengantarkanku di depan rumah.
Tuhan… Semoga aku tak menyesal akan keputusanku ini.


Seberapa pun kesal, seberapun cinta, seberapa pun berharap, jika memang bukan orang  yang tepat, akan ada cara untuk dijauhkan. Seberapa pun tak kenal, seberapa pun tak ada urusan, seberapa pun benci, jika emang orang yang tepat, akan selalu ada cara untuk di dekatkan.”

Cilegon, 13 Juli 2015


Tidak ada komentar:

Posting Komentar