Sabtu, 12 Desember 2015

Memantaskan 7


Nikah


            Untuk kamu yang melulu meributkan perkara nikah, percayalah, kalian akan nikah pada waktunya. -carissa-

            Matahari mulai berpamitan kepada bumi. Sebentar lagi, langit akan merubah warnanya menjadi gelap serta diterangi cahaya bulan serta bintang-bintang yang bertaburan. Sunset! Entah, aku sangat menyukai moment seperti ini. Melihat matahari terbenam yang kemudian berganti menjadi gelap. Bukit belakang sekolah adalah tempat favoritku untuk melihat fenomena alam seperti ini.

            “Sha!” Rahmah membuyarkan lamunanku.
            “Eh… Kenapa?”
            “Jadi… kapan kamu nikah? Hehehe.”

            Pertanyaan yang sederhana namun cukup menohok batinku. Ah… Mengapa harus pertanyaan ini dan mengapa yang mengajukannya harus sahabatku sendiri…

            “Et… Ini bocah ditanyain diam saja. Gimana sama yang kemarin taaruf? Cocok?”
            “Ngg… Nggak kayanya. Hihi.”
            “Loh kenapa?” Tanyanya heran.
            “Ya bukan jodoh. Simpel kan?”

            Pada dasarnya, jodoh masih tetap menjadi rahasia sang Ilahi. Untuk kamu yang sudah berpacaran bertahun-tahun, bahkan ada yang sudah bisa melunasi kredit rumah namun tetap saja, jika dia bukan jodohmu, yowes good bye :D
            Untuk kamu yang belum menikah, jangan gusar dan cemas. Karena menikah itu bukanlah seperti balapan dan bukan masalah siapa yang duluan dan siapa yang belakangan sampai garis finish.
            Jika kita telah memperbaiki dan memantaskan diri, hati sudah siap untuk membina rumah tangga dan materi pun sudah ada, tapi kalau jodohnya belum ada, mau di kata apa. Masa mau nikah sama mbe’ hehehe.

            “Shaaaa! Ye ini bocah ngelamun bae.”
            “Duh apalagi sih?” Tanyaku mulai sebal.
            “Terus sekarang gimana? Masih mau mencari?”
            “Istirahat dulu ya. Mamangnya cape. Hahaha.” Jawabku mulai ngasal
            “Huh!”
           
            Kalau ditanya “emang lo nggak mau nikah?” Duh siapa sih yang nggak mau menikah. Pada dasarnya menikah itu kan menyempurnakan setengah dari agamanya. Nah siapa coba yang nggak mau kaya gitu. Tapi kembali lagi ke pertanyaan “apakah udah siap menghabiskan waktu seumur hidup dengan orang yang berbeda dari kita?”
Menikah bukan hanya karena alasan suka sama suka saja, melainkan semuanya. Di mulai dari persetujuan orang tua, menyamakan visi dan misi ke depan, dan tentunya saling menutupi kekurangan dan sama-sama memperbaiki diri lagi.
Menikah tentu diperlukannya cinta, karena itu merupakan pondasi utama dalam membangun rumah tangga. Bagaimana kita akan menghabiskan seumur hidup dengan orang lain kalau kita tak cinta? Jika berbicara soal cinta, tentunya kamu akan menerima segala kekurangan dan kelebihan pasangannya masing-masing. Karena pada dasarnya jika kamu mencintai seseorang, kamu tak akan menuntut orang itu untuk menjadi diri orang lain.
Biarkan saja pasanganmu itu tetap menjadi dirinya sendiri, namun tugas kamu nanti yaitu sama-sama memperbaiki diri supaya dapat meraih ridha-Nya. Ya, karena pada hakikatnya mencintai seseorang itu indah, namun lebih indah lagi apabila kita ikut dicintai dengan orang yang kita cinta.

Duh… Jadi meleber ke mana-mana :D

Nah untuk kamu yang belum menemukan jodoh, teruslah memperbaiki dan memantaskan diri. Karena jodoh kita merupakan cerminan dari diri sendiri. Allah tak mungkin memberikan jodoh yang levelnya di atas kamu atau di bawah kamu.
Untuk saat ini, perbanyaklah belajar ilmu agama. Karena tugas kita kelak 5-10 tahun ke depan sebagai orang tua lebih berat dari orang tua kita. Mengapa demikian? Lihat saja anak-anak zaman sekarang, sangat berbeda dengan kita sewaktu anak-anak dulu. Nggak mau kan kalau nanti sang buah hati terjadi apa-apa?

“Wooy berat omongan lu, Sha! Hahahah.”
“Ah biarin saja. Tapi benar kan apa yang aku omongin?”

Pada dasarnya orang yang ingin menikah bukan hanya memiliki cinta saja, tapi memiliki ilmu agama untuk sama-sama mendidik anak-anak dan tentunya untuk meraih surga-Nya.


Tapi jangan pernah engkau mengakui kalau mencintainya, jika engkau banyak menuntut pada dirinya. Padahal engkau tau, dia tak mampu memenuhi keinginanmu.

 
 
Selamat mencari pasangan hidup. Percayalah jodoh akan datang tepat waktu. Tak terlambat, namun tak terlalu cepat.

Cilegon, 12 Desember 2015

Selasa, 08 Desember 2015

Memantaskan 6

Pacaran



            Malam itu, disebuah kamar berukuran 4 x 6 meter, ada seorang adik kelasku yang bertanya tentang pacaran.
“Teh, aku mah sukanya sama si itu, tapi itunya nggak nembak-nembak aku.”
            “Nembak? Mati dong! Hahaha.” Aku nyengir kuda.
            “Ih teteh mah, aku serius. Bagaimana  biar dia peka sama aku, terus dia nyatain perasaannya ke aku. Kan kalau aku bilang duluan, malu, Teh.”
            Dasar anak muda (berarti gue sudah tua yah haha). Males sih sebenarnya kalau disuruh bahas pacaran (lagi) apalagi soal tembak-menembak (besok-besok latihan sama polisi atau tentara aja kalau mau nembak). Tapi yo mau bagaimana lagi, TERPAKSA :D
            “Teteh pernah pacaran?” Tanya gadis itu sambil tidur-tiduran memainkan andoridnya.
            “Pernah.”
            “Terus dulu biar ditembak sama cowok yang kita sukai bagaimana?”
            Wadezhing! Pertanyaannya…
            Gadis, dia adik kelasku. Kalau ditanya kenal dimana, yo aku ndak tau. Cuma kenal beberapa hari saja dalam sebuah trip ke sebuah tempat #halah. Tapi waktu beberapa hari itu, sudah bisa membuat kami akrab. Dia kuliah di salah satu universitas swasta di Jakarta.
            Malam itu dia sengaja menginap di kosanku, karena esok paginya akan bermain-main di kampusku. Namanya juga perempuan, kalau sudah ketemu dan bermalam ditambah nggak bisa tidur, yo saling bertukar cerita, atau bahasa kekiniannya saling curhat. Hehehe.
            Namun nggak untuk pertanyaan Gadis kali ini. Ketika membahas soal pacaran, rasanya sudah malas sekali. Sudah bukan zamannya lagi seumuranku untuk menghabiskan waktu dengan cara seperti itu.
“Terus ngapain, Teh kalau udah lulus?”
“Yo kerjalah, cari duit buat keliling dunia! Hahaha.”
Tapi topik malam itu cukup menggelitik batinku. Geli sih ketika Gadis mengajukan beberapa pertanyaan seputar pacaran. Seperti “Teteh dulu gimana kok bisa pacaran sama si itu?” atau “Teh, bagi tips dong biar doi bisa suka sama aku.”

Ah… Abang tolong adek… Adek nggak kuat, bang… Hahaha

Pada dasarnya, dalam Islam sendiri pun tak mengenal kata pacaran. Jika bertanya “lalu bagaimana kita bisa mengenal seseorang bila tak pacaran?” Nah, Islam pun mempermudah. Masih ada ‘taaruf’ untuk kita saling mengenal. Tapi ingat “Taaruf bukanlah modus pacaran syariah.”
Lantas bagaimana jika kita jatuh cinta? Ya banyak-banyak berdoa, hehe. Kalau sudah siap langsung lamar daripada disamber orang duluan :D
“Tapi kan, Teh, kalau kita nggak punya pacar, kita dibilang nggak gaul?”
“Terus? Pilih dibilang nggak gaul atau dosa? Hayooo.”
 “Ah Teteeeeh…”
Sudahlah, belajar saja dulu yang benar. Bahagiain orang tua dulu, jangan bahagiain pacar hehe.
So, masih ada manfaat pacaran? Islam kan? Tau dong kalau di Islam pun melarang umatnya untuk pacaran.
Yuk pergunakan waktumu untuk hal-hal yang lebih bermanfaat. Belajar yang benar untuk mendapatkan beasiswa kuliah di luar negeri misalnya
Salam Cinta :D

Permata Hijau, 8 Desember 2015

Senin, 07 Desember 2015

Wisuda


            Wisuda?

            Bagi sebagian orang, wisuda adalah moment yang ditunggu-tunggu. Kenapa bisa begitu? Ya, karena setelah 4-7 tahun lamanya kita kuliah, tentu yang menyatakan kita lulus adalah setelah wisuda dan mendapatkan ijazah.
            Tapi bagi sebagian orang juga, wisuda hanyalah bentuk formalitas saja. Karena yang terpenting bukanlah wisudanya, tapi seberapa banyak ilmu yang kita dapat selagi masih menjadi mahasiswa.
            Saya pun di sini tak begitu membanggakan bahwa wisuda adalah hal yang sangat amat penting dalam hidup saya. Bahkan sebenarnya saya masih ingin sekali menjadi seorang mahasiswa dengan penampilan yang secuek mungkin. Namun di sisi lain, saya memikirkan perasaan orang tua, bagaimana pun orang tua pasti ingin melihat anaknya cepat lulus dan melihat memakai baju ‘kebesaran’ tersebut. Tentu ada perasaan bangga di hati orang tua ketika melihat anaknya di wisuda. Apalagi bisa menjadi mahasiswa terbaik.
            Namun ada juga sebagian orang yang sama sekali cuek dan tak peduli dengan wisuda, apalagi ijazah. Di sini saya merasa sangat heran. Jika ada orang yang menganggap bahwa wisuda dan ijazah tersebut tak penting, lalu untuk apa dia kuliah? Untuk membahagiakan hati orang tuanya? Oke fine, kalau alasannya seperti itu. Tapi kalau dia sudah menjelek-jelekan bahwa wisuda dan ijazah itu tak penting dan berpikiran kalau IPK gede karena dekat dengan dosen, skripsi yang dibikinin orang lain atau apalah itu, kemudian orang tersebut diterima kerja karena ijazah sarjananya… Hmm gimana ya. katanya ijazah itu nggak penting. Ko masuk kerja masih menggunakan ijazah sih? Hehehe. Lupakanlah…
            Bagaimana pun juga, buat kamu yang menganggap wisuda itu penting atau tidak, sudah cukup kamu dan Allah aja yang tahu. Tak usah diumbar-umbar di sosial media. Apalagi sampai menjatuhkan seseorang hanya karena pola pikiran kamu yang bertentangan dengan mereka.
            Karena pada dasarnya kita hidup ini bukan hanya memikirkan ego sendiri juga, banyak orang lain yang harus diperhatikan. Dan baik-baiklah untuk berucap, karena tak semua orang setuju dengan pendapat kita.
 Terima kasih untuk kedua orang tua yang selalu memberikan dukungan untuk si bungsunya


            So, untuk kamu yang telah wisuda. Congraduation!
            Ini bukan akhir dari sebuah perjalanan hidup. Tapi adalah awal dari segalanya. Entah setelah wisuda akan memutuskan menikah atau bekerja, tapi tetaplah menjaga ilmu yang telah didapat selama menjadi mahasiswa. Etika juga diperbaiki. Malu dong udah sarjana tapi masih ngejelek-jelekin orang.
            Think smart, guys!

Senin, 26 Oktober 2015

Our Friendship Never End!

            Kali ini saya akan bercerita tentang dua manusia ajaib di hidup saya. Mereka merupakan teman, sahabat atau apalah itu. Yang pasti saya sudah berteman dengan mereka lebih dari 10 tahun.
Dari Kiri ke Kanan: Saya, Veni dan Ratna


            Yang pertama, namanya Ratna. Saya kenal dia semenjak duduk di bangku Sekolah Dasar. Kemudian Veni, kalau dengan dia, saya mengenalnya ketika di SMP. Dan mungkin sudah menjadi takdir Allah, kita dikenalkan dan di dekatkan melalui ekstra kulikuler pramuka.
           Semenjak masuk pramuka dari kelas 1 SMP, kami sudah dekat. Saat itu anggota pramuka putri lumayan banyak, namun setiap tahunnya selalu ada yang datang dan pergi. Ya buktinya sampai detik ini, anak pramuka putri di zaman SMP dulu yang sampai sekarang masih tetap eksis yang cuma kami bertiga saja. Hehehe
            Pernah suatu kami baru menginjak bangku SMA, yang menjadi pengurus di pramuka putri tingkat penegak, cuma kami bertiga. Saya sebagai ketua, Ratna sebagai sekretaris dan Veni sebagai bendahara. Ya, semenjak itulah kami jadi makin sering pergi bertiga. Meskipun untuk acara camping atau jalan-jalan jauh saya termasuk orang yang susah mendapatkan izin dari orang tua sih :D ya ujung-ujungnya saya hanya menjadi pendengar sejati saja dan mupeng liat foto-foto mereka.
***
            Jadi ceritanya, Minggu 25 Oktober 2015 kemarin kami sengaja bertemu pada acara Derap Gamalanda yang ke 7 yang diadakan oleh SMP N 3 Cilegon. Itu merupakan sebuah quality time! Karena kami sudah jarang sekali bertemu. Ya, kami baru saja lulus kuliah, Veni baru saja diterima di salah satu sekolah di Kota Cilegon. Sedangkan Ratna, dia menjadi chef di perusahaan makanan di Kota Serang. Sedangkan saya sendiri masih menjadi Staf di salah satu yayasan dosen, kadang juga jadi assistant dosen yang ngawas ketika UTS dan UAS hahaha.
            Oh iya, saya termasuk orang yang paling akhir memakai hijab diantara mereka berdua. Kalau Ratna, dia sudah memakai hijab semenjak masuk SMP, sedangkan Veni ketika masuk SMA. Kalau saya? Alhamdulillah masih dikasih hidayah ketika duduk dibangku kuliah pada semester 4 akhir :D sebelumnya saya masih pake-lepas-pake-lepas-pake-lepas-pake-lepas *gituajaterus. Maklum masih labil hehe.

Ini zaman-zaman kami ketika masih menjadi anak pramuka :D
            Ceritanya, siang itu kami lagi ngobrol-ngobrol sambil melihat kegiatan pramuka di Bumi Perkemahan Krakatau Steel. Kemudian arah pembicaraan kami melenceng mengenai sesuatu yang sangat sensitive. Apalagi kalau bukan soal jodoh. Hahaha
            “Na, kamu gimana sama si itu? Masih ngedeketin? Udah jangan ya. Sayang, kamu kan belum pernah pacaran. Jangan ngikutin gue sama Gita.”
            Ratna Cuma senyum-senyum saja. Duh pembicaraan mulai berat. Veni sudah mulai mancing-mancing rupanya.
            “Gita noh, mantannya banyak, eh taunya dapat jodoh duluan.” Ledek Veni.
            “Hush! Apaan sih, Ven.”
            “Hahaha bener kan lo. Jodoh udah di depan mata gitu.” Suara Veni mulai ngeledek.
            Ah rupanya membahas soal jodoh masih jadi trending topic untuk manusia-manusia seumuran kami. Wajar lah ya. Udah pada lulus gitu, selain mikirin kerjaan, tentunya mulai mikirin jodoh juga. Walaupun kita nggak tahu kapan jodoh itu datang, yaa apa salahnya untuk tetap mencari :D
            Kemudian obrolan berlanjut.
            “Eh nanti 5-10 tahun lagi, anak-anak kita ya yang bakal main seperti mereka.” Ucap Veni sambil melihat kanak-anak dari senior kami terdahulu.
            Waaah… pikiran bocah satu ini udah sejauh itu. Ya semoga saja, pertemanan kami bisa sampai tua nanti :D


Permata Hijau, 26 Oktober 2015

Kamis, 22 Oktober 2015

Memantaskan 5

#ta'aruf

         Langit di kampus biru mulai gelap, namun hingar bingar masih saja kutemui di setiap kaki melangkah. Entah alasan apa yang menuntunku untuk menginjakkan kaki di kampus. Padahal aku sudah tak ada kepentingan lagi, selain mengurus revisi tentunya. Namun hari ini aku tak berniat sama sekali untuk menyentuh skripsiku yang sudah jamuran.
            Siang tadi, aku bertemu dengan salah seorang teman seperjuangan yang sidangnya hanya beda tiga hari sebelum aku. Ketika mengetahui dia akan ikut wisuda 97, rasanya ada sesak di dada. Tuhan.. Mengapa aku tak bisa mendaftar pada wisuda 97. Batinku menjerit.
            “Sha, revisi sudah selesai?” Tanya Tia ketika kami berpapasan di depan ruang prodi.
            Aku hanya tersenyum masam.
            “Sha, kamu itu bisa loh ikut wisuda 97. Pepetin aja dosennya.” Timpal Fani yang saat itu juga hendak mendaftar wisuda.
            Lagi, aku masih diam tak menjawab pertanyaan mereka.
            “Sha? Jawab dong!”
            “Eh… Sorry.” Jawabku gelapan. “Nanti aja deh, gue wisuda setelah ada yang lamar gue!” Huahahaha.
            Spontan aku langsung kabur dari mereka, tanpa pamit. Bukan aku tak menghormati mereka, hanya saja… Ah sudahlah. Aku wisuda November saja setelah revisi ini benar-benar selesai.
***
            Di pertengahan Agustus, aku kembali bertemu dengan Rani. Setelah dia bercerita panjang kali lebar perihal bang Roma, dia menyerempetkan sebuah pertanyaan yang sebenarnya sudah tak ingin aku dengar.
            “Sha, kok masih betah nge-jomblo?”
            Deg! Kali ini aku yang terdiam.
            “Cari pacar lagi sih daripada ngegalau nggak karuan. Hehehe.”
            “Duh, Ran, kenapa harus bahas pacar sih? Males ih dengarnya.” Aku langsung pergi meninggalkan Rani yang heran karena sikapku.
            Entah kenapa rasanya malas sekali mendengar perihal ‘pacar’ atau ‘jodoh.’ Bisa dibilang ‘gue orang yang paling sensi kalau udah membahas dua hal tersebut.’ Yeah, selain karena trauma untuk jatuh cinta lagi, aku pun sudah tak ingin punya pacar lagi. Patah hati yang terakhir kali itu, mampu merubah 90 derajat sudut pandangku perihal cinta. Ah… cinta macam apa yang membuat orang sesakit itu?
            Dari SMP, aku telah mengenal banyak orang, baik cewek atau cowok. Semua itu aku kenal di organisasi sekolah atau kegiatan sosial yang aku lakukan di luar. Puncaknya ketika kuliah, orang-orang yang aku kenal semakin hari semakin banyak. Mereka yang datang sesaat, kemudian pergi lagi entah ke mana. Atau orang yang masih stay di sekitar kita.
            Begitu pun ketika aku resmi memasang predikat ‘High Quality Jomblo.’ Ada beberapa laki-laki yang datang silih berganti ke kehidupanku, berusaha mengambil perhatian bahkan hatiku dengan cara mereka masing-masing. Namun itu semua justru membuatku semakin muak. Rasanya saat itu ingin sekali berteriak “Berhentilah kalian merayuku!” Walau endingnya bakal ketawa juga.
            Bukan aku tak peka, bukan pula tak ingin jatuh cinta (lagi). Tapi sudah cukuplah peristiwa satu tahun yang lalu kujadikan sebagai pelajaran. Ah… Patah hati itu tak enak!
            “Sha, tunggu dong!” Teriak Rani berusaha mengejarku.
            “Apalagi? Mau ngenalin gue sama siapa lagi? Kek gue nggak laku aja.” Aku sewot, seolah mengerti akan menjurus ke mana obrolan kami.
            “Ih… Nggak gitu. Kali ini benaran deh beda. Bukan kaya cowok-cowok yang udah lu kenal.”
            Aku diam sebentar, melirik tajam ke Rani.    
            “Huahahaha sudah ah bosen dengar hal-hal yang berbau cowok dan jodoh.” Aku melanjutkan langkah kaki yang entah akan pergi ke mana.
            “Lo mau gue ta’arufin nggak?” Teriak Rani ketika aku sudah mulai menjauh darinya.
            Samar-samar aku masih mendengar apa yang keluar dari mulut Rani. Ta’aruf? Tanyaku dalam hati.
            Aku berhenti. Rani berlari kecil mengejarku.
            “Gimana, Sha? Lo mau gue ta’arufin nggak?”
            Aku diam. Tak tau harus jawab apa. Memang untuk saat ini aku memang tak ingin untuk punya pacar, hanya saja kalau untuk ta’aruf lalu menikah… Itu belum pernah terlintas dipikiranku.
            Ah Rani…