Selasa, 20 Desember 2016

Manisnya Dua Kota di Jawa



Kamis (9/12) lalu, saya resmi melakukan trip terlama di perjalanan menuju Jawa. Ya, ini pertama kalinya saya melakukan perjalanan ke Jawa hanya untuk liburan tanpa ada keperluan lainnya. Tempat tujuan utama saya yaitu Purbalingga dan Purwokerto.
Setibanya di stasiun Purwokerto, saya di jemput oleh Nisa beserta orang tuanya. Mereka inilah yang akan menampung saya selama empat hari di Purwokerto.
Jum’at, saya dan Nisa berangkat menuju kota Purbalingga ba’da dhuhur. Sebelum menuju objek wisata, kami mampir di salah satu tempat makan pinggir jalan untuk menikmati soto ayam legendaris khas Purbalingga. Soto ayam ini sudah berdiri sejak 1970, loh. Bedanya dengan soto pada umumnya, dia memakai ketupat sebagai pengganti nasi, selain itu cara memasaknya pun masih menggunakan kayu bakar. Cita rasanya? Untuk yang tidak suka makanan manis, saya sarankan tetap mencobanya. Hehe. Kenapa? Karena soto ini rasanya manis sekali, seperti yang bikin tulisan ini. Hahaha.
Oke, fokus!
Setelah itu kami melanjutkan perjalanan menuju Owabong, yang terkenal dengan wahana airnya. Jauh-jauh ke Purbalingga hanya untuk bermain air saja? Eits, jangan salah paham dulu. Owabong dulunya merupakan kolam renang pribadi yang di buat oleh warga Negara Belanda loh, pada tahun 1946, yang kemudian diambil alih oleh Kwi Sing. Nah pada tahun 2004 baru dibeli oleh PEMDA kabupaten Purbalingga dan diperluas menjadi 4,8 Ha dari yang sebelumnya hanya 1 Ha saja.
Udara Purbalingga nan sejuk sangat mendukung niat saya untuk bermain air di Owabong. Harga tiket masuknya cukup murah, Rp. 23.000,- perorang, kami sudah menikmati semua wahana di Owabong. Itu pun harga weekend. Kalau hari kerja, harganya jauh lebih murah, hanya Rp. 15.000.- perorang. Murah ya? Jelas dong. Menurut cerita dari Nisa, air yang ada di Owabong ini berasal dari mata air pegunungan yang langsung dialirkan menuju kolam-kolam. Ketika saya mulai bermain air, tak tercium bau kaporit sedikit pun. Air di sini benar-benar alami. Keren banget!
Di Owabong terdapat bermacam-macam wahana air. Tentunya yang menjadi incaran saya adalah waterboom dengan ketinggian 13 meter yang merupakan waterboom tertinggi di Jawa Tengah. Saya mencoba wahana ini sendirian, Nisa tak berani melihat seluncuran yang berkelok-kelok dan panjang itu. Sensasinya? Jangan ditanya, cobain sendiri! Hehe
Selain itu terdapat juga wahana kolam Olympic dengan standar internasional, kolam sesat, pantai bebas tsunami, kolam pesta air, kolam akhir, kanal arus, kolam terapi ikan, arena gokart dan masih banyak lagi.

Keesokan harinya, kami melanjutkan perjalanan. Tempat pertama yang kami singgahi adalah Kebun Raya Baturraden. Dari pintu masuk kebun raya Baturraden, kami bertemu beberapa orang yang sedang memainkan musik asli dari Banyumas, Kenthongan. Kenthongan terbuat dari bambu atau kayu. Konon katanya kenthongan ini zaman dahulu digunakan sebagai pengingat bencana atau membangunkan orang sahur saat ramadhan. Nah, kenthongan yang saya jumpai ini dimainkan bersamaan alat musik yang lain seperti angklung, calung, suling dan bas.
Saya dan Nisa asik menikmati pemandangan nan hijau serta udara sejuk yang jarang saya dapati di tempat tinggal. Tak jauh dari pintu masuk, kami menemukan rumah pohon serta beberapa permainan seperti di Taman Kanak-kanak. Rumah pohon ini sering kali dijadikan tempat foto, bahkan ketika kami ke sana ada sepasang muda-mudi yang sedang melakukan foto pra-wedding. Duh asli di sini saya merasa baper. Hehe.
Beranjak dari Kebun Raya Baturraden, kami menuju Lokawisata Baturraden yang hanya ditempuh dalam waktu sepuluh menit menggunakan sepeda motor. Dari cerita yang saya dapat, nama Baturraden ini terdiri dari dua suku kata, Batur dan Raden. Baturraden merupakan kisah cinta antara anak perempuan bangsawan dan seorang pembantu yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Ketika kisah cinta mereka ketahuan oleh Sang Adipati, maka mereka berdua diusir dan menempati sebuah tempat yang dikenal dengan sebutan Baturraden.
Long weekend kali ini, membuat kawasan Baturraden dipadati oleh pengunjung yang datang dari berbagai wilayah. Mereka datang untuk menikmati pemandangan indah dan udara pegunungan segar, sama seperti kami. Tujuan kami ke Baturraden selain menikmati udaranya yang sejuk, siapa tahu aja ketemu sama jodohnya. Hahaha. Ini bercanda!
Kami berjalan-jalan menyusuri kawasan Lokawisata Baturraden, ternyata ada beberapa wahana yang dapat dinikmati mulai dari anak-anak sampai orang dewasa. Ada juga kolam renang, air terjun, kawasan botani dan masih banyak lagi. Dari semua fasilitas yang disediakan oleh pengelola, kita cukup mengeluarkan uang sebesar Rp. 14.000.- saja untuk menikmati semua wahana yang ada di Baturraden.
Setelah itu, tujuan kami berikutnya adalah Small World atau yang biasa dikenal dengan taman miniatur dunia. Taman ini dibangun di Desa Ketenger, Kecamatan Baturradem, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Dari pintu masuk, kami sudah disuguhi oleh beberapa miniatur yang ada di Indonesia maupun Dunia. Di sini kami disuguhkan dengan icon-icon dari negara di Dunia. Seperti Singapura yang terkenal dengan patung merlion, Malaysia dengan menara kembarnya, Belanda dengan kincir anginnya, Indonesia dengan monasnya, Jepang dengan bunga sakura, Paris dengan menara eiffelnya dan masih banyak lagi.
Dengan kocek Rp. 15.000.- perorang, kami sudah dapat berfoto ria. Bagi kami yang belum pernah keliling dunia, Small World ini menjadi tempat hiburan tersendiri. Sensasinya berasa keliling dunia, padahal hanya melihat miniatur-miniaturnya saja. Hehe.
So, liburan singkat yang hanya empat hari cukup membuat hati saya senang. Walaupun menurut Nisa masih banyak tempat-tempat wisata di Purwokerto yang belum dikunjungi, tapi apalah daya, keesokan harinya saya harus kembali ke kehidupan nyata. “Next time lagi ya, Nis!” hehehe. See you.

Selasa, 22 November 2016

Hilang



Oleh: Gita Rizki Hastari

            Tentang rasa yang tak sempat disampaikan kepada tuannya. Tentang rindu yang tak pernah terbalas sedikit pun. Tentang mengikhlaskan kepergian yang belum sempat dirasakan.
            “Ah…”
            “Rin, kamu kenapa?” Salma memandangku dengan heran.
            “Eh… Ng… Nggak kenapa-kenapa ko.”
            Lalu kini pada siapa aku keluhkan semua perasaan yang menghantuiku setiap hari. Entah, aku tak pernah bisa menceritakannya. Bahkan kepada Salma, sahabat terdekatku, aku tak bisa.
Pict by Google        
 
   Sungguh, kalau pun aku bisa melarangnya mungkin hal ini tak akan terjadi. Namun aku bisa apa, aku bukanlah siapa-siapa yang berhak melarangnya untuk pergi ke Ibu Kota. Bergabung bersama ratusan bahkan jutaan umat Islam dari berbagai penjuru di Indonesia. Jihad, begitu katanya.
            Tragedi 4 November lalu telah menorehkan sejarah besar bagi Indonesia. Konon katanya ini pertama kalinya suasana Ibu Kota dibanjiri jutaan umat muslim dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka berbondong-bondong datang ke Jakarta untuk sebuah keadilan.
            Aku pun ikut merasakan suasana itu walaupun hanya dari televisi. Ibu Kota yang setiap harinya dipadati oleh kendaraan roda dua dan empat, hari itu berubah seketika dipenuhi dengan lautan manusia. Persis seperti berada di Makkah, ketika musim haji datang.
            Seperti yang telah banyak diberitakan di media masa, konon katanya pemicu awal terjadinya demo tersebut dilatarbelakangi oleh Gubernur Jakarta yang dengan gampangnya melecehkan Al-Qur’an. Padahal telah kita ketahui, bahwa orang tersebut bukanlah dari golongan umat Islam.
            “Dibohongin pakai Al-Maidah ayat 51, macam-macam itu…” Sepintas seperti itulah perkataannya dibeberapa video yang aku lihat.
            Entah, aku tak ingin membahasnya lebih lanjut. Pun jika harus menafsirkan Q.S Al-Maidah ayat 51, aku tak begitu pandai. Aku hanya bisa memahami isinya yang kuketahui kita, sebagai umat muslim dilarang menjadikan non-muslim sebagai pemimpin.
            Aku pun dulu sempat bertanya-tanya, mengapa demikian? Toh pemimpin yang sekarang hanya sebagai Gubernur atau bos di tempat kita kerja, bukan sebagai pemimpin agama. Namun seiring berjalannya waktu, aku memahaminya.
            Pegangan mereka beda, bukan Al-Qur’an. Lantas pasti ada dalam beberapa aspek kehidupan yang bertentangan dengan kami sebagai umat muslim. Seperti dulu ketika temanku kerja, atasannya yang non-muslim melarangnya untuk memakai hijab, tentu kalau pemimpin kita Islam pastilah tak akan melarangnya.
Ah… Apapun itu, aku tak mau memperdebatkannya panjang lebar. Aku hanya ingin dia kembali, sudah gitu saja.
“Dia siapa?” Tanya Salma setelah akhirnya aku memberanikan diri untuk menceritakannya.
Dia, seseorang yang telah lama kukagumi diam-diam, tentu tanpa dia sadari. Aku mengaguminya atau menyukainya. Entahlah, kadang aku sendiri tak mengerti tentang perasaan yang aku alami.
Kami hanya sebatas teman, kenal dengannya pun tanpa disengaja. Jangankan bertemu, berkomunikasi pun jarang. Lantas bagaimana bisa rasa ini hadir begitu saja, memikirkannya hampir setiap saat.
‘Tuhan…” Batinku kini menjerit.
Romy, namanya. Laki-laki berperawakan arab, tinggi dan sedikit berjenggot. Dialah yang selama ini terus-terusan hinggap dipikiranku.
Lantas sekarang, semenjak kejadian itu dia tiba-tiba lenyap bagaikan ditelan bumi. Sejak kejadian 4 November, aku sama sekali tak bisa menghubunginya. Hilang, entah ke mana.
Sore itu aku berniat mencari kabar tentangnya. Namun nihil yang kudapati. Teman-temannya memberitahu bahwa selepas kejadian itu, dia hilang. Tentu, berita ini tak ada di media masa mana pun. Siapa sih yang mau memberitakan seorang karyawan biasa yang bukan dari organisasi manapun. Kalau ada sekali pun, pasti orang yang meliputnya kekurangan berita.
“Romy, kamu di mana? Aku rindu.”
Aku masih mengingatnya, sore hari setelah aksi damai itu berlangsung, tiba-tiba saja kerusuhan terjadi. Ada yang bilang provokatornya adalah orang dari salah satu organisasi Islam. Namun faktanya mereka hanyalah orang-orang bayaran yang lagi-lagi ingin menjatuhkan Islam dan menyalahkan Islam bahwa demo yang kami buat berakhir rusuh.
“Apa mungkin di saat kejadian itu, Rin? Dia ditangkap oleh salah satu oknum.” Tanya Salma kemudian.
“Entahlah…” Suaraku menggantung dilangit-langit bilik kamar.
Romy, di mana pun kamu berada sekarang, aku selalu mendoakan yang terbaik untukmu. Semoga kejadian 4 November lalu bukanlah penyebab hilangnya dirimu. Mungkin kamu hanya ingin sendiri, berdiam di suatu tempat tanpa ada seseorang pun yang mengganggu. Entahlah.
Kembalilah, Rom. Aku Rindu, selalu merindukanmu.

Kamis, 07 Juli 2016

Memantaskan 11

Ramadhan



            Allahuakbar… Allahuakbar… Allahuakbar…
            Suara gema takbir mulai terdengar di seluruh penjuru kampung.  Pagi tadi, kami seluruh umat Muslim di Indonesia merayakan kemenangan setelah satu bulan penuh berpuasa.
            Menang? Menang dari apa? Sedangkan aku masih saja lalai menjalankan perintah-Nya , bahkan di bulan yang Kau muliakan.
            Ah… Rasanya waktu berlalu begitu cepat.
            Hingga tak terasa Ramadhan telah pergi meninggalkan kita semua. Ramadhan yang begitu indah, namun masih saja kita sia-siakan keberadaannya. Mengabaikan segala amalan yang bisa kita dapatkan hanya pada Ramadhan.
            Rasanya berat sekali membiarkannya pergi. Setelah sibuk berbenah dan merevisi sajadah niat, khusyu menikmati bercinta dengan Rabbnya dalam iktikaf di sudur-sudut masjid, ada juga yang dengan merdunya melantunkan tilawah dan ada yang kecewa karena belum menemukan halalnya :D
            “Kakak… Maaf lahir dan batin, ya.” Satu buah pesan muncul dilayar androidku.
            “Salam santun dan salam ukhuwah. Dari Na dan keluarga.”
            Aku diam sesaat memandangi tulisan itu.
            “Na, sudah berkeluarga?” Tanyaku kaget.
            “Hih. Mulai.”
            “Ahaha. Maafkan. Maaf lahir dan batin juga ya, orang yang selalu ngaku-ngaku jadi adek :P” Balasku.
            Nadia, adik kelasku sewaktu kuliah dulu. Kami kenal di salah satu organisasi ekternal kampus. Mulai akrab ketika diberi amanah untuk sama-sama membimbing anak-anak baru. Dia yang dengan alih-alih ngaku sebagai ‘adik’ bisa masuk ke acaraku begitu saja, gratis. Dia yang bisa aku tipu dan jadi bahan bullyan ketika ketemu, dia juga yang memberiku semangat dikala gundah.
            “Halal sudah tampak, Kak?” Pesan berikutnya muncul.
            “Heh. Baru maafan ya. Sudah bikin masalah saja.”
            “Wee mulai juteknya. Na kan cuma nanya.”
            Tepat sudah dua tahun berlalu, ketika aku benar-benar memutuskan untuk tidak terikat hubungan dengan laki-laki siapa pun. Aku masih ingin bebas. Walaupun tak terpungkiri niatan itu sudah ada dari satu tahun yang lalu, hanya saja…
            Ah sudahlah…
            Nyatanya mereka yang kutolak, tak berapa lama kemudian dapat bersama perempuan lain. Biarkan, berarti perjuangannya cuma sampai disitu. Kesabarannya hanya sebatas status ‘pacar’ yang selama ini aku masih belum tertarik.
            “Kamu itu… Hih! Susah ya ditaklukinnya. Haha.” Begitu kata Rohman, salah satu seniorku dulu yang sering kuceritakan masalah apapun.
            Ramadhan, aku benar-benar tak ingin kehilanganmu. Aku masih ingin bersenda gurau denganmu, menghabiskan hari demi hari dengan penuh keberkahan. Menahan  haus dan lapar, amarah serta hawa nafsu sebulan lebih. Aku ingin kamu tetap di sini. Sungguh.
            Namun nyatanya kamu telah pergi, meninggalkan kami. Akan ada rindu untuk menantimu kembali, sebelas bulan kemudian. Semoga nanti kita dapat bertemu kembali, Ramadhan. Kan kutunggu. Seiring nampaknya hilal kemarin, semoga halal segera muncul~

Salam,
Dari yang merindukanmu, Ramadhan
Depok, 7 Juli 2016

Selasa, 14 Juni 2016

Beasiswa Vokasi Menulis



Penyembuh Sakit dan Kenyataan yang Tak Pernah Dimimpikan

             
              Senja, aku selalu suka dengan dia. Memandangnya bagaikan melihat pangeran tampan yang mampu membuat mataku tidak berkedip. Aku selalu jatuh cinta dengannya. Tidak pernah bosan ketika harus bertemu, bahkan mengkhususkan sebagian waktuku untuk mencari tempat yang pas. Dulu, ketika masih menjadi mahasiswa, aku mempunyai tempat favorit untuk ‘berkencan’ dengannya. Di balkon kosan. Kini, ketika kembali ke kampung halaman, aku sempat kebingungan mencari area khusus untuk menemuinya. Tapi tenang, beberapa bulan kemarin aku sudah mendapatkan tempat itu.
                Namun hari itu, sudah berkali-kali, ketika senja datang aku gagal menemuinya. 24 Mei 2016 pukul 17.30 WIB, aku seharusnya sedang bersama dia. Namun takdir-Nya berkata lain. Entah untuk yang ke berapa kalinya, di bulan yang sama, aku dilarikan ke klinik.
                Penyakit yang sama, yang sangat membahayakan untukku. Kukira dia tidak akan datang lagi, selama ini aku selalu menjaga pola makan dengan baik. Tapi sore itu vonis dokter benar-benar mengejutkan. Dia naik level. Keren! Dari akut ke kronis. Tuhan… Cobaan apalagi yang Kau berikan. Hanya karena masalah kecil, dia bisa datang lagi, menghantui diriku selama satu bulan, sepanjang Mei 2016.
                Ketika sedang berada di ruang pemeriksaan, handphoneku berbunyi, sekali, tidak kuangkat. Ke dua kalinya ketika dokter sudah selesai memeriksa, aku pamit keluar untuk menjawab panggilan masuk.  
                “Assalamualaikum.”
                “Waalaikumsalam.”
                “Ini siapa ya?” Tanyaku, karena nomornya tidak terdaftar di kontak.
                “Hayo tebak siapa?”
                “Siapa?” Tanyaku lagi.
                “Masa nggak kenal sih sama suaranya.”
                Aku berpikir dan mengingat sebentar. Nihil. Aku tidak mengenalinya.
                “Ada apa?”
                “Sudah tau belum siapa? Haha.”
                “Eh bentar.” Sepertinya aku mendengar suara lain selain dia.
                “Jack?”
                “Yup benar! Haha.”
                Setelah berhasil menebak siapa yang menelpon, Jack langsung menjelaskan maksud dan tujuannya. Sedikit bingung saat awalnya dia bertanya perihal paspor. Aku memang punya, namun untuk apa.
                Tidak lama kemudian aku mengerti maksudnya. Awalnya rada sedikit tidak percaya ketika Jack mengajakku untuk ikut mendaftar sebagai salah satu peserta vokasi menulis kemendikbud, untuk program paket c dan pendidikan berkelanjutan 2016.
Aku sudah tahu ada program itu ketika hari minggunya bermain ke Rumah Dunia. Tapi saat itu aku masih seperti bermimpi. Benarkah aku diajak sebagai salah satu dari seratus peserta lainnya.
                Dokter memanggil sebentar untuk memastikan surat istriahatku. Iya, saat itu aku benar-benar harus bedrest. Setelah oke dan Mama keluar dari ruang pemeriksaan, kuceritakan siapa yang menelpon tadi dan beliau tidak percaya.
                “Iya, Mah. Aku diajak untuk ikut beasiswa vokasi menulis yang diadakan oleh Kemendikbud, Rumah Dunia dipercaya untuk mencari seratus pesertanya dan aku terpilih.”
                Ruang tunggu di klinik yang semula hening, jadi rusuh karena suara cemprengku. Sebagian pasien melihat ke arahku. Aku nyengir, memelankan suaraku.
                “Kapan berangkat?”
                “Seminggu lagi. Tapi nanti tiga hari di Rumah Dunia dulu, baru habis itu berangkat ke Singapore. Ini sepulang dari klinik aku diminta  mengirimkan foto paspor dan KTP.” Jelasku sambil menunggu obat.
                “Tapi kamu kan sudah tiga minggu sakit-sakitan mulu. Nanti di sana makannya bagaimana? Perut kamu kan harus diisi makanan terus, nggak boleh kosong.” Nada suara seorang Ibu jelas terdengar sangat khawatir.
                “Tenang, Ma. Anakmu ini bisa mendadak sembuh kalau travelling. Haha.” Aku berdiri mengambil obat, kali ini dosisnya dinaikkan.
                Pulang dari klinik, kuceritakan perihal beasiswa ini ke Papa. Wajah beliau? Datar. Haha. Memang begitu. Tapi disaat bersamaan dia juga khawatir dengan kondisiku.
                Namun kuyakinkan mereka lagi. Bahwa aku baik-baik saja. Bahkan aku sempat bilang, kalau travelling kali ini adalah obat paling jitu untuk menyembuhkan sakitku ini. Daripada di rumah saja. Anakmu kurang piknik, Mak :D
***
                H-3 sebelum menginap di Rumah Dunia, badanku down lagi. Obat dari klinik masih tidak mempan. Rasanya ingin sekali pergi ke RS Syarif Hidayatullah yang berada di seberang kampusku. Karena dulu, ketika di vonis penyakit yang sama dan bertemu dengan dr. Denny, hanya cukup berobat sekali aku langsung sembuh. Tapi kondisi dan jadwal praktek yang tidah pernah tepat mengurungkan niatku untuk pergi dan memilih RSUD Cilegon untuk berobat.
                Sebelumnya aku pergi ke Puskesmas dulu untuk meminta rujukan. Namun ternyata pihak Puskesmas tidak memberikan rujukan, aku disuruh makan obat sekali lagi. Kalau tidak mempan juga, baru dirujuk.
                Tidak ada pilihan lain, aku menurutinya.
                Dan keajaiban itu datang. Pagi harinya ketika akan pergi menuju Rumah Dunia, aku sudah tidak mengalami mual dan muntah di pagi hari, begitu pun ketika siang harinya.
                Acara tiga hari di Rumah Dunia dan Jakarta pun berjalan lancar, tanpa keluhan yang sempat kualami.
***
                H-1 sebelum keberangkatan, aku izin pamit pulang karena masih harus menyelesaikan kerjaan kantor. Malam harinya baru diantar oleh kakak, khawatir kalau sakitku datang lagi. Namun aman. Obat tentu masih kubawa sebagai penjagaan kalau tiba-tiba dia datang.
                Selepas shalat subuh, aku sudah berkelana mencari sarapan. Kutemukan yang jualan uduk di samping Rumah Dunia. Aku memakannya, tanpa memakan obat terlebih dahulu. Sedikit nyeri, namun masih aman. Tanda-tanda itu tidak muncul. Oke. Aku bungkus satu lagi untuk memakannya di pesawat, karena di bandara tidak ada makanan yang seharga tujuh ribu rupiah :D

Changi Airport 31 Mei 2016
                Akhir Mei, bagaikan sebuah mimpi bisa kembali berada di Changi Airport. Setelah di awal bulan berjuang penuh melawan sakit, akhirnya Allah memberikan rencana terbaik-Nya, untukku. Bukankah disetiap kesedihan akan ada kebahagiaan?
                Dan masih ada the power of doa.
                Terima kasih Rumah Dunia dan Kemendikbud

 Sentosa, 1 Juni 2016


Clark Quay, 2 Juni 2016