Selasa, 22 November 2016

Hilang



Oleh: Gita Rizki Hastari

            Tentang rasa yang tak sempat disampaikan kepada tuannya. Tentang rindu yang tak pernah terbalas sedikit pun. Tentang mengikhlaskan kepergian yang belum sempat dirasakan.
            “Ah…”
            “Rin, kamu kenapa?” Salma memandangku dengan heran.
            “Eh… Ng… Nggak kenapa-kenapa ko.”
            Lalu kini pada siapa aku keluhkan semua perasaan yang menghantuiku setiap hari. Entah, aku tak pernah bisa menceritakannya. Bahkan kepada Salma, sahabat terdekatku, aku tak bisa.
Pict by Google        
 
   Sungguh, kalau pun aku bisa melarangnya mungkin hal ini tak akan terjadi. Namun aku bisa apa, aku bukanlah siapa-siapa yang berhak melarangnya untuk pergi ke Ibu Kota. Bergabung bersama ratusan bahkan jutaan umat Islam dari berbagai penjuru di Indonesia. Jihad, begitu katanya.
            Tragedi 4 November lalu telah menorehkan sejarah besar bagi Indonesia. Konon katanya ini pertama kalinya suasana Ibu Kota dibanjiri jutaan umat muslim dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka berbondong-bondong datang ke Jakarta untuk sebuah keadilan.
            Aku pun ikut merasakan suasana itu walaupun hanya dari televisi. Ibu Kota yang setiap harinya dipadati oleh kendaraan roda dua dan empat, hari itu berubah seketika dipenuhi dengan lautan manusia. Persis seperti berada di Makkah, ketika musim haji datang.
            Seperti yang telah banyak diberitakan di media masa, konon katanya pemicu awal terjadinya demo tersebut dilatarbelakangi oleh Gubernur Jakarta yang dengan gampangnya melecehkan Al-Qur’an. Padahal telah kita ketahui, bahwa orang tersebut bukanlah dari golongan umat Islam.
            “Dibohongin pakai Al-Maidah ayat 51, macam-macam itu…” Sepintas seperti itulah perkataannya dibeberapa video yang aku lihat.
            Entah, aku tak ingin membahasnya lebih lanjut. Pun jika harus menafsirkan Q.S Al-Maidah ayat 51, aku tak begitu pandai. Aku hanya bisa memahami isinya yang kuketahui kita, sebagai umat muslim dilarang menjadikan non-muslim sebagai pemimpin.
            Aku pun dulu sempat bertanya-tanya, mengapa demikian? Toh pemimpin yang sekarang hanya sebagai Gubernur atau bos di tempat kita kerja, bukan sebagai pemimpin agama. Namun seiring berjalannya waktu, aku memahaminya.
            Pegangan mereka beda, bukan Al-Qur’an. Lantas pasti ada dalam beberapa aspek kehidupan yang bertentangan dengan kami sebagai umat muslim. Seperti dulu ketika temanku kerja, atasannya yang non-muslim melarangnya untuk memakai hijab, tentu kalau pemimpin kita Islam pastilah tak akan melarangnya.
Ah… Apapun itu, aku tak mau memperdebatkannya panjang lebar. Aku hanya ingin dia kembali, sudah gitu saja.
“Dia siapa?” Tanya Salma setelah akhirnya aku memberanikan diri untuk menceritakannya.
Dia, seseorang yang telah lama kukagumi diam-diam, tentu tanpa dia sadari. Aku mengaguminya atau menyukainya. Entahlah, kadang aku sendiri tak mengerti tentang perasaan yang aku alami.
Kami hanya sebatas teman, kenal dengannya pun tanpa disengaja. Jangankan bertemu, berkomunikasi pun jarang. Lantas bagaimana bisa rasa ini hadir begitu saja, memikirkannya hampir setiap saat.
‘Tuhan…” Batinku kini menjerit.
Romy, namanya. Laki-laki berperawakan arab, tinggi dan sedikit berjenggot. Dialah yang selama ini terus-terusan hinggap dipikiranku.
Lantas sekarang, semenjak kejadian itu dia tiba-tiba lenyap bagaikan ditelan bumi. Sejak kejadian 4 November, aku sama sekali tak bisa menghubunginya. Hilang, entah ke mana.
Sore itu aku berniat mencari kabar tentangnya. Namun nihil yang kudapati. Teman-temannya memberitahu bahwa selepas kejadian itu, dia hilang. Tentu, berita ini tak ada di media masa mana pun. Siapa sih yang mau memberitakan seorang karyawan biasa yang bukan dari organisasi manapun. Kalau ada sekali pun, pasti orang yang meliputnya kekurangan berita.
“Romy, kamu di mana? Aku rindu.”
Aku masih mengingatnya, sore hari setelah aksi damai itu berlangsung, tiba-tiba saja kerusuhan terjadi. Ada yang bilang provokatornya adalah orang dari salah satu organisasi Islam. Namun faktanya mereka hanyalah orang-orang bayaran yang lagi-lagi ingin menjatuhkan Islam dan menyalahkan Islam bahwa demo yang kami buat berakhir rusuh.
“Apa mungkin di saat kejadian itu, Rin? Dia ditangkap oleh salah satu oknum.” Tanya Salma kemudian.
“Entahlah…” Suaraku menggantung dilangit-langit bilik kamar.
Romy, di mana pun kamu berada sekarang, aku selalu mendoakan yang terbaik untukmu. Semoga kejadian 4 November lalu bukanlah penyebab hilangnya dirimu. Mungkin kamu hanya ingin sendiri, berdiam di suatu tempat tanpa ada seseorang pun yang mengganggu. Entahlah.
Kembalilah, Rom. Aku Rindu, selalu merindukanmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar