#gagal jadian
Dan
mata kami pun bertemu. Cukup lama. Sampai aku sadari.
“Astagfirullah…”
Segera kupalingkan wajahku darinya
“Maaf!”
Begitu katanya ketika sadar aku tak suka ditatapnya lama-lama.
Aku
meninggalkannya, hanya beberapa langkah. Tak lama dia pun menghampiriku.
“Maaf.”
Ujarnya lagi.
Namun
aku hanya terpaku, diam. Suasana hening cukup lama.
“Sha,
Maaf!” Suaranya meninggi sedikit ketika aku tak kunjung bicara.
Aku
menarik nafas sejenak. Kemudian kuhembuskan. Begitu berat. Nyaris membuatku
sulit untuk bernafas.
“Di…”
Suaraku terputus.
Adli
menatapku. Tajam.
“Kamu
kenapa begini?” Tanyaku mengulur waktu untuk menjawab pertanyaannya.
“Maaf,
Sha. Tapi namanya juga perasaan…”
Adli
tak meneruskan dialognya. Lagi, kami terdiam di bawah rembulan.
“Kamu
pasti tau kan akan jawabanku?”
Adli
tak menjawab. Ah… maaf! Kini batinku yang dirundung dilema. Kembali kucoba
jatuhkan pandanganku pada matanya. Astagfirullah…
Adli
kacau. Mukanya pucat. Gelagat tubuhnya seolah menunjukkan sedang gelisah. Aih…
bagaimana mungkin ia tak gelisah. Aku telah membuatnya menunggu lama hanya
untuk sebuah jawaban ya atau tidak.
“Maaf.”
Batinku menangis.
“Di…”
Suaraku lirih.
Matanya
menohok jantungku, lagi. Segera kutundukkan kepala. Aku tak sanggup jika mata
elangnya itu tembus ke bola mataku.
“Aku
tak bisa…” Suaraku terputus.
Adli
nyaris teriak. Tubuhnya bak cacing kepanasan ketika mendengar jawabanku.
Sedangkan aku? Batinku menangis. Ini hal yang sulit bagiku. Lebih sulit
ketimbang mengerjakan seratus soal matematika.
“Mengapa?”
Mata itu seolah meminta jawaban.
“Kamu
tahu akan prinsip hidupku, bukan?” Gemetar menjawab pertanyaannya.
Kami
diam sejenak.
“Tapi
kan…” Adli masih keukeuh untuk
mengubah jawabanku.
Kutarik
nafas sebenar.
“Jangan
tanya perasaanku kini. Kurasa kamu tahu. Tapi untuk status itu… Ah. Maaf aku
nggak bisa!” Butiran Kristal nyaris keluar dari mataku.
“Beneran
nggak bisa? Aku janji deh bakal…”
“Stop,
Di! Aku tak ingin mendengar janjimu. Ini sudah menjadi keputusanku. Kita
sahabatan aja seperti sebelumnya. Dan… “ Nyaris kukeluarkan beberapa ayat dan
hadist yang kini menjadi peganganku.
“Datanglah
kepada orang tuaku bila kamu…” Aku memotong kalimat terakhirnya.
Mata
tajam itu kini berubah menjadi sayu. Kini salah siapa, Tuhan? Aku mencintainya,
sungguh. Namun untuk sebuah status itu… Ah aku tak bisa. Palu kehidupan telah
kuketuk dan tekadku telah bulat.
Bukan
sok agamais, Di. Bukan! Kelakuanku pun kadang masih menjengkelkan. Tak dipungkiri
aku pun masih suka jalan dengan teman laki-laki. . Masih suka ketawa
terpingkal-pingkal di depan laki-laki. Tapi dengan mereka aku tak ada apa-apa,
Di. Beda dengan kamu.
Adli
perlahan mengerti. Walau kutahu sulit bagiya untuk menerima keputusanku.
Hingga
akhirnya dia melemparkan senyumannya, walau masih terlihat getir.
“Pulang,
yuk!” Ajaknya ketika dia sudah mulai bisa mengontrol kegelisahannya.
Kami
pun pulang. Di atas motor dan dibawah sinar rembulan, tak ada sedikit katapun
yang terlontar dari bibir kami berdua. Diam seribu bahasa. Hingga dia sampai
mengantarkanku di depan rumah.
Tuhan…
Semoga aku tak menyesal akan keputusanku ini.
“Seberapa
pun kesal, seberapun cinta, seberapa pun berharap, jika memang bukan orang yang tepat, akan ada cara untuk dijauhkan. Seberapa
pun tak kenal, seberapa pun tak ada urusan, seberapa pun benci, jika emang
orang yang tepat, akan selalu ada cara untuk di dekatkan.”
Cilegon,
13 Juli 2015