Selasa, 14 Juni 2016

Beasiswa Vokasi Menulis



Penyembuh Sakit dan Kenyataan yang Tak Pernah Dimimpikan

             
              Senja, aku selalu suka dengan dia. Memandangnya bagaikan melihat pangeran tampan yang mampu membuat mataku tidak berkedip. Aku selalu jatuh cinta dengannya. Tidak pernah bosan ketika harus bertemu, bahkan mengkhususkan sebagian waktuku untuk mencari tempat yang pas. Dulu, ketika masih menjadi mahasiswa, aku mempunyai tempat favorit untuk ‘berkencan’ dengannya. Di balkon kosan. Kini, ketika kembali ke kampung halaman, aku sempat kebingungan mencari area khusus untuk menemuinya. Tapi tenang, beberapa bulan kemarin aku sudah mendapatkan tempat itu.
                Namun hari itu, sudah berkali-kali, ketika senja datang aku gagal menemuinya. 24 Mei 2016 pukul 17.30 WIB, aku seharusnya sedang bersama dia. Namun takdir-Nya berkata lain. Entah untuk yang ke berapa kalinya, di bulan yang sama, aku dilarikan ke klinik.
                Penyakit yang sama, yang sangat membahayakan untukku. Kukira dia tidak akan datang lagi, selama ini aku selalu menjaga pola makan dengan baik. Tapi sore itu vonis dokter benar-benar mengejutkan. Dia naik level. Keren! Dari akut ke kronis. Tuhan… Cobaan apalagi yang Kau berikan. Hanya karena masalah kecil, dia bisa datang lagi, menghantui diriku selama satu bulan, sepanjang Mei 2016.
                Ketika sedang berada di ruang pemeriksaan, handphoneku berbunyi, sekali, tidak kuangkat. Ke dua kalinya ketika dokter sudah selesai memeriksa, aku pamit keluar untuk menjawab panggilan masuk.  
                “Assalamualaikum.”
                “Waalaikumsalam.”
                “Ini siapa ya?” Tanyaku, karena nomornya tidak terdaftar di kontak.
                “Hayo tebak siapa?”
                “Siapa?” Tanyaku lagi.
                “Masa nggak kenal sih sama suaranya.”
                Aku berpikir dan mengingat sebentar. Nihil. Aku tidak mengenalinya.
                “Ada apa?”
                “Sudah tau belum siapa? Haha.”
                “Eh bentar.” Sepertinya aku mendengar suara lain selain dia.
                “Jack?”
                “Yup benar! Haha.”
                Setelah berhasil menebak siapa yang menelpon, Jack langsung menjelaskan maksud dan tujuannya. Sedikit bingung saat awalnya dia bertanya perihal paspor. Aku memang punya, namun untuk apa.
                Tidak lama kemudian aku mengerti maksudnya. Awalnya rada sedikit tidak percaya ketika Jack mengajakku untuk ikut mendaftar sebagai salah satu peserta vokasi menulis kemendikbud, untuk program paket c dan pendidikan berkelanjutan 2016.
Aku sudah tahu ada program itu ketika hari minggunya bermain ke Rumah Dunia. Tapi saat itu aku masih seperti bermimpi. Benarkah aku diajak sebagai salah satu dari seratus peserta lainnya.
                Dokter memanggil sebentar untuk memastikan surat istriahatku. Iya, saat itu aku benar-benar harus bedrest. Setelah oke dan Mama keluar dari ruang pemeriksaan, kuceritakan siapa yang menelpon tadi dan beliau tidak percaya.
                “Iya, Mah. Aku diajak untuk ikut beasiswa vokasi menulis yang diadakan oleh Kemendikbud, Rumah Dunia dipercaya untuk mencari seratus pesertanya dan aku terpilih.”
                Ruang tunggu di klinik yang semula hening, jadi rusuh karena suara cemprengku. Sebagian pasien melihat ke arahku. Aku nyengir, memelankan suaraku.
                “Kapan berangkat?”
                “Seminggu lagi. Tapi nanti tiga hari di Rumah Dunia dulu, baru habis itu berangkat ke Singapore. Ini sepulang dari klinik aku diminta  mengirimkan foto paspor dan KTP.” Jelasku sambil menunggu obat.
                “Tapi kamu kan sudah tiga minggu sakit-sakitan mulu. Nanti di sana makannya bagaimana? Perut kamu kan harus diisi makanan terus, nggak boleh kosong.” Nada suara seorang Ibu jelas terdengar sangat khawatir.
                “Tenang, Ma. Anakmu ini bisa mendadak sembuh kalau travelling. Haha.” Aku berdiri mengambil obat, kali ini dosisnya dinaikkan.
                Pulang dari klinik, kuceritakan perihal beasiswa ini ke Papa. Wajah beliau? Datar. Haha. Memang begitu. Tapi disaat bersamaan dia juga khawatir dengan kondisiku.
                Namun kuyakinkan mereka lagi. Bahwa aku baik-baik saja. Bahkan aku sempat bilang, kalau travelling kali ini adalah obat paling jitu untuk menyembuhkan sakitku ini. Daripada di rumah saja. Anakmu kurang piknik, Mak :D
***
                H-3 sebelum menginap di Rumah Dunia, badanku down lagi. Obat dari klinik masih tidak mempan. Rasanya ingin sekali pergi ke RS Syarif Hidayatullah yang berada di seberang kampusku. Karena dulu, ketika di vonis penyakit yang sama dan bertemu dengan dr. Denny, hanya cukup berobat sekali aku langsung sembuh. Tapi kondisi dan jadwal praktek yang tidah pernah tepat mengurungkan niatku untuk pergi dan memilih RSUD Cilegon untuk berobat.
                Sebelumnya aku pergi ke Puskesmas dulu untuk meminta rujukan. Namun ternyata pihak Puskesmas tidak memberikan rujukan, aku disuruh makan obat sekali lagi. Kalau tidak mempan juga, baru dirujuk.
                Tidak ada pilihan lain, aku menurutinya.
                Dan keajaiban itu datang. Pagi harinya ketika akan pergi menuju Rumah Dunia, aku sudah tidak mengalami mual dan muntah di pagi hari, begitu pun ketika siang harinya.
                Acara tiga hari di Rumah Dunia dan Jakarta pun berjalan lancar, tanpa keluhan yang sempat kualami.
***
                H-1 sebelum keberangkatan, aku izin pamit pulang karena masih harus menyelesaikan kerjaan kantor. Malam harinya baru diantar oleh kakak, khawatir kalau sakitku datang lagi. Namun aman. Obat tentu masih kubawa sebagai penjagaan kalau tiba-tiba dia datang.
                Selepas shalat subuh, aku sudah berkelana mencari sarapan. Kutemukan yang jualan uduk di samping Rumah Dunia. Aku memakannya, tanpa memakan obat terlebih dahulu. Sedikit nyeri, namun masih aman. Tanda-tanda itu tidak muncul. Oke. Aku bungkus satu lagi untuk memakannya di pesawat, karena di bandara tidak ada makanan yang seharga tujuh ribu rupiah :D

Changi Airport 31 Mei 2016
                Akhir Mei, bagaikan sebuah mimpi bisa kembali berada di Changi Airport. Setelah di awal bulan berjuang penuh melawan sakit, akhirnya Allah memberikan rencana terbaik-Nya, untukku. Bukankah disetiap kesedihan akan ada kebahagiaan?
                Dan masih ada the power of doa.
                Terima kasih Rumah Dunia dan Kemendikbud

 Sentosa, 1 Juni 2016


Clark Quay, 2 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar