Minggu, 13 September 2015

Sepenggal Kisah di 510



            “Hari ini jadi pulang, De?” Tanya suara di seberang sana.
            Aku menghela nafas sebentar.
“Jadi, Ma. Ini sebentar lagi berangkat.” 
Ada rasa malas ketika harus pulang ke rumah. Ini bukan karena aku tidak rindu pada orang tua dan adikku yang masih berumur delapan tahun. Aku rindu pada mereka. Sungguh. Aku juga rindu pada suasana rumah yang selalu memberikan kehangatan jiwa. Hanya saja, aku membenci perjalanan yang harus kulalui.
Waktu masih menunjukkan pukul setengah enam pagi. Namun aku sudah stay cool di depan kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Aku bukan sedang menjadi satpam yang harus membuka gerbang kampus sepagi ini atau menunggu seorang pangeran untuk menjemputku. Ini kulakukan untuk menunggu angkutan yang akan membawaku ke terminal Kampung Rambutan. Apalagi kalau bukan angkutan tiga perempat berwarna hijau dan  kuning yang bertuliskan ‘Koantas Bima 510.’
Tidak perlu waktu lama untuk menunggu angkutan ini. Baru saja aku membenarkan tali sepatu yang lepas, bus tiga perempat ini lewat di hadapanku. Segera kuambil tas jinjing yang sempat kuletakkan di tanah. Berlari sedikit agar tak tertinggal. dan, hap! Aku naik ke 510.
“Astaga…” Batinku ketika berada di dalam 510.
Ini yang membuatku tidak suka dari perjalanan menuju rumah. Waktu memang masih menunjukkan pukul setengah enam pagi, namun angkutan ini sudah penuh sesak bagaikan ikan pepes yang siap dibakar. Aku mendengus sebal.
Koantas Bima 510 ini berjalan sangat lambat. Bau-bau tak sedap mulai menghampiri hidungku. Kukira kenek koantas ini sudah tak ingin menaikkan penumpang, melihat kondisi di dalam 510 sendiri sudah penuh sesak. Ternyata dugaanku salah. Di depan kampus Universitas Muhammadiah Jakarta, koantas ini berhenti dan menaikkan penumpang lagi. Penumpang yang lain protes. Begitupun aku.
Kondisiku makin terhimpit. Aku berdiri di samping jendela, berharap akan mendapatkan sedikit udara segar. Di depanku ada seorang wanita berumur sekitar 35-40 tahun, badannya tiga kali lipat dari badanku yang hanya seukuran artis yang sedang naik daun dengan lagunya “sakitnya tuh di sini.”
Ternyata harapanku untuk bisa mendapatkan udara lebih banyak dari mereka itu salah. Sesampainya di Lebak Bulus, penumpang makin banyak yang naik. Jadilah badanku yang kecil ini makin terpojok. Bau badan dari berbagai penjuru di dalam koantas ini semakin merusak moodku di pagi hari. Belum lagi ketika bus tiga perempat ini tiba-tiba ngerem mendadak. Sebagian penumpang berteriak kaget dan sebagian lagi memarahi sopir yang sesuka hati membawa kami.
Ada rasa sedikit lega ketika 510 sudah mulai memasuki tol Pondok Pinang. Begitupun dengan penumpang yang berdiri di sampingku. Semula wajahnya begitu masam saat 510 berjalan seperti siput. Namun setelah lajunya di percepat menjadi 60 km/jam, wajahnya kembali normal lagi.
            Baru sepuluh menit 510 masuk tol, aku mulai merasakan hawa yang tidak enak pada badanku. Perutku mual. Kepalaku sakit. Kakiku pegal. Rasa-rasanya seperti ada yang ingin kumuntahkan saat ini juga. Mungkin kalau ada seseorang yang memperhatikanku detik ini, mereka pasti melihat mukaku mulai pucat.
            Semakin lama, badanku terasa makin berat. Rasa mualku bertambah lebih hebat. Andai aku bisa keluar dari koantas ini, sudah kulakukan dari tadi. Akhirnya aku jatuhkan kepalaku di pundak wanita gemuk di depanku ini. Aku sudah tidak peduli kalau setelah bus berhenti, dia akan memarahiku. Untuk saat ini yang aku pikirkan hanyalah satu, bagaimana aku harus tetap bisa berdiri sempurna sampai bus ini berhenti di Pasar Rebo.
***
            “Neng bangun.” Samar-sama kudegar suara seorang wanita.
            Ketika mataku terbuka, ternyata wanita yang aku pinjam punggungnya untuk tidur itu mencoba membangunkanku.
            “Eh… Maaf, Bu.” Jawabku salah tingkah karena malu.
            Wanita itu hanya tersenyum saat aku mengangkat kepalaku dari punggungnya. Kurang dari hitungan lima detik, wanita itu sudah turun dari 510. Aku coba membuka mataku lebar-lebar dan fokus melihat sekeliling. Ternyata aku tertidur sepanjang perjalanan tadi.
“Untung baru sampai Pasar Rebo.” Batinku.
Bus kembali melaju dengan kecepatan 60 km/jam menuju terminal Kampung Rambutan. Kondisi 510 saat ini lengang, tidak sepadat tadi. Penumpang sebagian besar banyak yang turun di Pasar Rebo. Hanya ada aku dan tiga orang penumpang lainnya yang memilih turun di terminal Kampung Rambutan.
Untunglah aku baik-baik saja ketika bus berhenti di terminal Kampung Rambutan. Rasa-rasanya aku tak sanggup bila nanti saat kembali ke Ciputat, aku harus menaiki 510 lagi. Aku tidak sanggup bila harus berdesak-desakkan dengan orang sebanyak tadi.
“Ma, ini yang membuat Dede malas untuk pulang ke rumah.” Batinku ketika turun dari 510.

*pernah dimuat diantalogi cerpen Public Transportasion Stories Vol. 3
Bandung: Ellunar, 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar