Hujan tengah malam
mengingatkanku pada seorang lelaki bermata tajam bak mata pisau yang siap
mencincang daging-daging segar. Jantungku berdetak ribuan kali lipat ketika
bola mata kami bertemu. Terlalu tajam, sehingga mampu menusukku. Bulu kuduk pun
ikut merinding kala mata kami bertemu.
Lelaki dihadapanku itu…
Ah! Aku tak sanggup menahan kecamuk dalam batinku. Aku tak tahu ini apa.
Gemetar, sesak dan entah rasa apalagi ketika dia memandangku dengan garangnya.
Lemas sekali, sungguh. Bahkan bibir tipisku tak sanggup berkata-kata saat bola
mata itu menatapku. Begitu dekat, sehingga aku bisa berkaca lewat bola matanya
yang hitam.
Tuhan, mohon maafkan
aku. Aku malu. Sungguh. Aku tak menundukkan kepalaku ketika berhadapan dengannya.
Aku sadar sejak peristiwa itu, batinku semakin berkecamuk. Aku menyesal telah
membalas tatapannya. Tapi sungguh, itu semua diluar nalarku. Bagaikan terkena obat
bius, aku pun terpaku ketika dia memintaku dengan paksa untuk menatapnya lebih
lama.
***
Lelaki sangunis itu
yang membuat hari-hariku berwarna. Semenjak aku gagal ikut olimpiade
matematika, entah kenapa jadi sensitive
terhadap apapun. Namun dia selalu ada untuk menghiburku dengan sejuta
kekonyolan yang dilakukannya.
Aku mengenalnya sudah
cukup lama. Anaknya asik, humoris, berambut lurus, cuek tapi perhatian, selalu
memakai kaos oblong dan celana panjang yang menurutku cingkrang dan hobinya selalu merayu perempuan dengan kata-kata puitis
yang dia pelajari dari buku Chairil Anwar.
Secungkil
senyuman aku daratkan ketika dia mulai melancarkan aksinya.
“Hai
cewek. Kamu cantik deh, boleh kalau kita kenalan? Gue Radit.”
Begitulah
kalimat pembuka yang hampir dia utarakan pada setiap perempuan yang menurutnya
‘menarik.’
Bahkan
saat dia mulai jenuh dengan rumus-rumus
kalkulus yang dipelajari di kelas, kegilaan yang lebih parah dia lakukan
dihadapan puluhan pasang mata. Saat kami berjalan menuju kantin fakultas, Radit
tiba-tiba menghentikan langkahku.
“Bentar
ya, Din. Lo tunggu sini.”
Aku
bengong, spontan menghentikan langkah. Lalu dalam hitungan detik, dia sudah
menghampiri seorang perempuan berkerudung hijau yang tak jauh dari kami. Perempuan
itu cantik, memiliki tinggi badan sekitar 165 cm, menggunakan tas selempang,
kemeja lengan panjang dan rok hitam serta sepatu flat shoes.
“Tipe Radit banget.” gumamku ketika melihat perempuan itu.
“Hai kenalan dong.”
Sapa Radit pada perempuan yang dia hampiri.
“Gue Radit. Lo siapa?”
Dia terus berjalan di samping perempuan itu, walau pun dia tahu, kemungkinan
akan ditanggapi hanya satu persen.
“Lo mau nggak jadi
pacar gue?”
Kini perempuan itu
menghentikan langkahnya. Melihat ke Radit sebentar.
“Tuhan…
Semoga ini hanya keisengan Radit saja.” Batinku mulai
ketakutan, takut Radit serius dengan perempuan itu.
“Nggak usah sok kenal!”
Mata perempuan itu melotot.
“Kenal juga nggak,
ngajak pacaran!”
Dengan sekejap,
perempuan itu mempercepat langkahnya. Pergi meninggalkan Radit yang masih terdiam
di tempat semula.
“Huahahaha.” Aku
tertawa puas melihat respon perempuan yang Radit coba dekati itu.
Dalam hitungan detik, Radit
menghampirku.
“Jahat lo, Din!” Timpal
Radit.
“Gue di tolak cewek
lagi nih. Nggak tahu untuk yang ke berapa kalinya.”
“Yaiyalah, Dit… Gimana
lo nggak ditolak cewek. Lah wong
cewek yang kamu tembak semuanya dapat nemu di jalan.” Ledekku sambil berjalan meninggalkan
Radit.
Radit menyusulku.
“Terus menurut lo, gue
harus gimana supaya gue bisa punya pacar?”
“Pacar mulu yang ada di
otak lu. Urusin tuh tugas kalkulus yang belum lu kerjain.”
Radit mencibir sebal,
perkatannya tak begitu ditanggapi.
***
“Din,
tatap mata gue!” Begitu ketika awal Radit memaksaku untuk melihat bola matanya.
“Lepasin
gue, Dit!” Aku mencoba memalingkan muka ke segala arah. Menghindari tatapannya
yang begitu tajam. Tatapan macam apa itu. Sebelumnya aku tak pernah melihat
sorot mata Radit seperti itu.
Kini,
pundakku di cengkramnya. Rasanya ingin sekali berteriak agar ada seseorang yang
menolongku, namun entah mengapa suaraku tak bisa keluar.
“Din,
sorry kalau gue kaya gini.” Mukanya
begitu serius berbicara persis di depan mukaku.
“Tapi jujur gue suka
sama lo. Gue mau lo jadi pacar gue.” Lanjutnya sambil terus mencengkram
pundakku.
“Iya,
tapi nggak usah kaya gini. Lepasin gue dulu. Nanti teman lo ngiranya kita
ngapa-ngapain.” Aku mulai ketakutakan melihat Radit yang selama ini begitu
humoris mendadak anarkis.
‘Nggak!
Gue nggak akan ngelepasin lo sebelum lo jawab pertanyaan gue. Dan gue mau lo
jadi pacar gue, Din. Please, jangan
tolak gue.”
Aku
terdiam sejenak. Benarkah lelaki dihadapanku sekarang adalah sahabatku, Radit?
Namun mengapa dia seperti ini. Sorotan matanya begitu tajam. Membuat badanku
bergetar ketika dia mencengram pundakku. Radit… Engkau kah ini?
“Din?”
“Eh…
Ng… Iya apa?” Jawabku gelagapan. Daritadi aku mencoba menundukkan kepala, menghindari
bola mata itu. Tak kuasa aku menatapnya.
“Jadi
lo mau kan jadi pacar gue?” Tanyanya sekali lagi.
“Ng…
Dit, boleh tanya sesuatu dulu?” Aku mulai lemas, tangannya masih saja
mencengkram pundakku.
“Apa?”
“Tapi
lepasin dulu tangan lo dari pundak gue. Sakit. Gue janji gue nggak akan kabur.”
Akhirnya
Radit melepaskan tanggannya.
***
“Eh,
Dit, kita udah berapa lama ya sahabatan?” Tanyaku disela-sela mengerjakan tugas
kalkulus.
“Berapa
ya… Hmm… Mungkin tiga atau empat atau lima tahun. Nggak tahu, Din. Gue lupa.
Hehehe.”
“Huh
dasar!”
“Ngapa
emang?” Tanyanya.
“Nggak
apa-apa sih hehe. Kayanya sudah lama saja gitu kita sahabatan. Dari SMA kan,
ya?”
“Iya.”
Jawabnya cuek.
“Ah…
Tapi lo nggak peka mulu.” Celetukku tanpa sadar.
“Hah?
Nggak peka kenapa, Din?” Radit langsung memalingkan mukanya ke wajahku.
“Eh…
Ng… Anu… Nggak apa-apa kok.” Aku mulai gelagapan. Khawatir Radit menaruh curiga
kepadaku.
Sore
itu, setelah selesai mengerjakan soal-soal kalkulus, kami langsung menemui
salah satu teman kami. Bermaksud merencanakan tujuan tempat wisata untuk
mengisi liburan semester.
Dia
Gagah. Seperti namanya, dia begitu gagah. Tak kurus, tak juga gemuk. Tingginya
sekitar 175 cm. Rambutnya sedikit acak-acakan, namun tetap rapi. Bila orang
melihatnya dari kejauhan, dapat kupastikan mereka begitu terkesima dengan
penampilannya yang sehari-hari menggunakan kemeja, celana bahan dan sepatu
pantopel. Laganya sudah seperti orang kantoran saja. Padahal masih kuliah
semester tujuh. Ditambah, dia tak perokok. Ah… betapa beruntungnya perempuan
yang bisa mengambil hati Gagah.
“Jadi
kita mau ke mana?” Tanyanya membuka pembicaraan.
“Naik
gunung aja. Hehe.” Celetukku
“Ah
gaya pake naik gunung segala. Diajak lari 5 km aja udah engap.” Ledek Radit.
Aku
mendengus sebal.
“Bagaimana
kalau kita renang aja?” Usul Radit.
“Yailah
liburan sebulan lo pake buat renang doang?” Protesku yang memang tak menyukai
olahraga renang.
“Ye…
Bodo! Daripada lo, nggak bisa berenang!”
“Sudah…
sudah… Kalian tuh kalau sudah ngomongin liburan, pasti ribut terus.” Gagah
mencoba melerai kami.
Aku
diam. Radit pun diam.
Tak
lama setelah itu, alih-alih sakit perut, aku izin untuk ke toilet. Padahal
bohong, aku muak dengan omongan Radit yang asal nyeletuk seperti itu. Bikin
sakit hati.
“Eh,
Dit, emang lo nggak sadar sesuatu?” Tanya Gagah ketika aku pergi ke toilet.
“Sadar
apa?” Radit bingung.
“Kalau
Dina suka sama lo.”
“Hahaha
nggak usah bercanda deh. Gue sama Dina itu udah sahabatan dari SMA. Jadi mana
mungkin kalau dia suka sama gue.”
Saat
Radit berbicara seperti itu, tanpa sengaja aku mendengarnya dari balik dinding.
“Yailah…
Justru dari persahabatan bisa jadi cinta.” Tegas Gagah.
“Nggak
mungkin lah, Gah. Lagian selama ini gue menganggap Dina itu sebagai sahabat
gue. Nggak lebih.”
Deg!
Batinku bagaikan tersambar petir, mendengar perkataan Radit seperti itu.
Ternyata selama ini hanya aku yang berharap lebih padanya.
“Nggak
boleh gitu, Dit. Saran gue nih, jangan sia-siain orang yang sudah sayang sama
kita. Nanti nyesel loh.” Gagah dengan gagahnya mencoba menasihati Radit.
“Masa
sih?”
“Iya.
Mending lo tindaklanjuti perkataan gue. Siapa tahu selama ini Dina emang
memendam rasa sama lo. Takutnya nanti lo malah nyesel kalau Dina sama yang
lain.”
Aku
muncul ditengah-tengah perbincangan antara Radit dan Gagah. Mereka langsung
terdiam.
“Pulang
yuk.” Kataku sembari menyambar tas ransel coklat.
“Tapi
kan kita belum nentuin liburan nanti kita mau ke mana.” Jawab Radit bingung
melihatku yang tiba-tiba mengajaknya pulang.
“Yaudah
kalau gitu gue pulang duluan ya. Bye!”
“Din…”
Belum sempat Radit berkata, aku sudah menghilang di belokan jalan.
“Nah
kan…” Seru Gagah.
***
“Jadi
gimana Din, jawabannya?” Tanya Radit ketika melepaskan tangannya.
“Ng…
Kok jadi gini ya.” Kataku mencari-cari alasan.
“Kenapa
lo tiba-tiba malah ngajakin gue pacaran? Bukannya lo sendiri yang bilang sama
gue kalau selama ini lo ngerayu cewek cuma buat iseng-iseng dan lo sendiri juga
yang bilang sama gue kalau lo nggak mau pacaran sebelum lulus.” Aku mencoba
mencari alasan dibalik pertanyaan Radit.
“Karena
kata Gagah, gue nggak boleh nyia-nyiain orang yang sayang ke kita. Dan menurut
gue, lo orang yang care sama gue
selama ini.”
Aku
terdiam sejenak, berpikir.
“Jadi
hanya karena Gagah bilang seperti itu?”
“Bukan,
Din. Gue sadar kalau selama ini cewek yang gue cari itu lo. Lo yang selalu ada
buat gue, saat gue sedih atau pun senang. Gue nggak mau nyia-nyiain lo. Guesuka
sama lo, Din.”
Nafasku
terasa berat sekali. Aku harus bagaimana, Tuhan. Aku mencintainya. Sungguh.
Tapi orang tuaku melarang keras kalau aku pacaran. Katanya jangan pacaran dulu
sebelum lulus kuliah.
Kini,
lelaki yang aku cintai diam-diam selama satu tahun belakangan, ada dihadapanku
dan memintaku untuk menjadi pacarnya.
“Bila dia mencintaimu, dia nggak akan
mengajakmu pacaran, tapi akan menghalalkanmu, segera.” Tiba-tiba aku
teringat oleh perkataan salah satu sahabatku.
“Hmm…
Jadi gini, Dit.” Aku membuka pembicaraan yang semula sunyi.
“Jujur,
gue emang suka sama lo. Tapi disatu sisi, orang tua gue melarang gue buat
pacaran. Lagipula, sekarang gue udah menghapus kata ‘pacaran’ dari kamus hidup
gue.” Jawabku dengan berat hati.
“Terus
gimana, Din? Lo nolak gue ya? Please…
jangan tolak gue.”
“Untuk
sekarang, gue nolak lo untuk jadi pacar gue. Tapi bukan berarti persahabatan
kita sampai di sini. Biarin aja semuanya ngalir apa adanya. Toh, jodoh nggak
akan ke mana.” Senyuman kecil kutaburkan untuk menghibur hatinya, mungkin
hatiku juga. Berat sekali mengatakan hal ini.
“Hmm…
Gitu ya? Jadi kita sahabatan dulu aja nih?” Katanya dengan tampang kecewa.
Tatapan tajam itu kini sudah tak ada lagi, berubah menjadi sayu. Sungguh aku
tak bermaksud mengubah muka yang penuh keseriusan itu.
“Iya.
Kelak nanti kalau kita udah lulus dan kamu masih menyimpan rasa itu, datanglah
ke rumah orang tuaku. Mintalah aku dengan baik-baik untuk menjadi bidadari
surgamu.”
Kini,
batinku makin terasa pilu. Setahun sudah menyimpan perasaan. Namun ketika dia
memiliki perasaan yang sama, aku justru menolaknya.
“Baik,
Din. Gue akan datang ke rumah orang tua lo dan gue janji, gue akan menikahi
lo.” Ucap Radit dengan tegas.
“Nggak usah berjanji
sama gue. Takut lo nggak bisa nepatin, bahaya.” Aku bergetar mengatakan kalimat
itu. Entah, aku sudah tak ingin percaya dengan janji-janji macam itu. Takut
bila Radit tak bisa menepatinya.
***
Dua tahun kemudian…
Jodoh
memang tak kan lari ke mana. Lelaki pemilik bola mata itu ternyata memang disiapkan
untukku. Indah sekali janjimu, Dit. Aku masih tak percaya bahwa kini aku akan
menua bersamamu.
“Terima kasih, Tuhan, Kau telah mempersatukan
kami dalam ikatan suci-Mu. Sungguh aku bahagia sekali”. Gumamku sembari
melirik Radit.
Berdiri
di pelaminan bersama orang yang kita cintai memang sangatlah indah. Radit
memang bukan lelaki romantis yang aku dambakan, tapi dia selalu bisa membuatku
terasa nyaman dan aman di dekatnya.
“Radit, kau benar-benar menepati janjimu. Dan
kini aku bisa membuktikan pada semua orang bahwa tak perlu pacaran untuk sampai
pada tahapan menikah. Kami pun bisa menikah tanpa pacaran. Memendam rasa dan
mengejar mimpi masing-masing bukanlah suatu hal yang buruk. Kelak kalau pun
jodoh, Tuhan akan mempersatukannya kembali. Pada sebuah ikatan suci.” Batinku
menangis bahagia, tak menyangka akan seindah ini.
Akhirnya Radit selesai
mengucapkan ijab qabul di depan penghulu dan para saksi.
Ciputat, 18 Juni 2015
Bagus...
BalasHapusHihi aku mah apa ka Rudi �� masih belajar
BalasHapusTapi makasih loh
Bagus, yaallah semoga cerita cinta aku juga bisa kya mbak ya hehehe
BalasHapusBagus, yaallah semoga cerita cinta aku juga bisa kya mbak ya hehehe
BalasHapus