“Hari ini jadi pulang, De?” Tanya
suara di seberang sana.
Aku menghela nafas sebentar.
“Jadi,
Ma. Ini sebentar lagi berangkat.”
Ada
rasa malas ketika harus pulang ke rumah. Ini bukan karena aku tidak rindu pada orang
tua dan adikku yang masih berumur delapan tahun. Aku rindu pada mereka.
Sungguh. Aku juga rindu pada suasana rumah yang selalu memberikan kehangatan
jiwa. Hanya saja, aku membenci perjalanan yang harus kulalui.
Waktu
masih menunjukkan pukul setengah enam pagi. Namun aku sudah stay cool di depan kampus UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Aku bukan sedang menjadi satpam yang harus membuka
gerbang kampus sepagi ini atau menunggu seorang pangeran untuk menjemputku. Ini
kulakukan untuk menunggu angkutan yang akan membawaku ke terminal Kampung
Rambutan. Apalagi kalau bukan angkutan tiga perempat berwarna hijau dan kuning yang bertuliskan ‘Koantas Bima 510.’
Tidak
perlu waktu lama untuk menunggu angkutan ini. Baru saja aku membenarkan tali
sepatu yang lepas, bus tiga perempat ini lewat di hadapanku. Segera kuambil tas
jinjing yang sempat kuletakkan di tanah. Berlari sedikit agar tak tertinggal.
dan, hap! Aku naik ke 510.
“Astaga…” Batinku ketika berada di dalam 510.
Ini
yang membuatku tidak suka dari perjalanan menuju rumah. Waktu memang masih
menunjukkan pukul setengah enam pagi, namun angkutan ini sudah penuh sesak
bagaikan ikan pepes yang siap dibakar. Aku mendengus sebal.
Koantas
Bima 510 ini berjalan sangat lambat. Bau-bau tak sedap mulai menghampiri hidungku.
Kukira kenek koantas ini sudah tak
ingin menaikkan penumpang, melihat kondisi di dalam 510 sendiri sudah penuh
sesak. Ternyata dugaanku salah. Di depan kampus Universitas Muhammadiah
Jakarta, koantas ini berhenti dan menaikkan penumpang lagi. Penumpang yang lain
protes. Begitupun aku.
Kondisiku
makin terhimpit. Aku berdiri di samping jendela, berharap akan mendapatkan
sedikit udara segar. Di depanku ada seorang wanita berumur sekitar 35-40 tahun,
badannya tiga kali lipat dari badanku yang hanya seukuran artis yang sedang
naik daun dengan lagunya “sakitnya tuh di sini.”
Ternyata
harapanku untuk bisa mendapatkan udara lebih banyak dari mereka itu salah.
Sesampainya di Lebak Bulus, penumpang makin banyak yang naik. Jadilah badanku
yang kecil ini makin terpojok. Bau badan dari berbagai penjuru di dalam koantas
ini semakin merusak moodku di pagi hari.
Belum lagi ketika bus tiga perempat ini tiba-tiba ngerem mendadak. Sebagian
penumpang berteriak kaget dan sebagian lagi memarahi sopir yang sesuka hati
membawa kami.
Ada
rasa sedikit lega ketika 510 sudah mulai memasuki tol Pondok Pinang. Begitupun
dengan penumpang yang berdiri di sampingku. Semula wajahnya begitu masam saat
510 berjalan seperti siput. Namun setelah lajunya di percepat menjadi 60
km/jam, wajahnya kembali normal lagi.
Baru sepuluh menit 510 masuk tol,
aku mulai merasakan hawa yang tidak enak pada badanku. Perutku mual. Kepalaku
sakit. Kakiku pegal. Rasa-rasanya seperti ada yang ingin kumuntahkan saat ini
juga. Mungkin kalau ada seseorang yang memperhatikanku detik ini, mereka pasti
melihat mukaku mulai pucat.
Semakin lama, badanku terasa makin
berat. Rasa mualku bertambah lebih hebat. Andai aku bisa keluar dari koantas
ini, sudah kulakukan dari tadi. Akhirnya aku jatuhkan kepalaku di pundak wanita
gemuk di depanku ini. Aku sudah tidak peduli kalau setelah bus berhenti, dia
akan memarahiku. Untuk saat ini yang aku pikirkan hanyalah satu, bagaimana aku
harus tetap bisa berdiri sempurna sampai bus ini berhenti di Pasar Rebo.
***
“Neng bangun.” Samar-sama kudegar
suara seorang wanita.
Ketika mataku terbuka, ternyata wanita
yang aku pinjam punggungnya untuk tidur itu mencoba membangunkanku.
“Eh… Maaf, Bu.” Jawabku salah
tingkah karena malu.
Wanita itu hanya tersenyum saat aku
mengangkat kepalaku dari punggungnya. Kurang dari hitungan lima detik, wanita
itu sudah turun dari 510. Aku coba membuka mataku lebar-lebar dan fokus melihat
sekeliling. Ternyata aku tertidur sepanjang perjalanan tadi.
“Untung baru sampai Pasar Rebo.” Batinku.
Bus
kembali melaju dengan kecepatan 60 km/jam menuju terminal Kampung Rambutan.
Kondisi 510 saat ini lengang, tidak sepadat tadi. Penumpang sebagian besar
banyak yang turun di Pasar Rebo. Hanya ada aku dan tiga orang penumpang lainnya
yang memilih turun di terminal Kampung Rambutan.
Untunglah
aku baik-baik saja ketika bus berhenti di terminal Kampung Rambutan. Rasa-rasanya
aku tak sanggup bila nanti saat kembali ke Ciputat, aku harus menaiki 510 lagi.
Aku tidak sanggup bila harus berdesak-desakkan dengan orang sebanyak tadi.
“Ma, ini yang membuat Dede malas untuk
pulang ke rumah.” Batinku
ketika turun dari 510.
*pernah dimuat diantalogi cerpen Public Transportasion Stories Vol. 3
Bandung: Ellunar, 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar