Penyembuh Sakit dan Kenyataan yang Tak Pernah Dimimpikan
Senja, aku selalu
suka dengan dia. Memandangnya bagaikan melihat pangeran tampan yang mampu
membuat mataku tidak berkedip. Aku selalu jatuh cinta dengannya. Tidak pernah
bosan ketika harus bertemu, bahkan mengkhususkan sebagian waktuku untuk mencari
tempat yang pas. Dulu, ketika masih menjadi mahasiswa, aku mempunyai tempat
favorit untuk ‘berkencan’ dengannya. Di balkon kosan. Kini, ketika kembali ke
kampung halaman, aku sempat kebingungan mencari area khusus untuk menemuinya.
Tapi tenang, beberapa bulan kemarin aku sudah mendapatkan tempat itu.
Namun hari itu,
sudah berkali-kali, ketika senja datang aku gagal menemuinya. 24 Mei 2016 pukul
17.30 WIB, aku seharusnya sedang bersama dia. Namun takdir-Nya berkata lain.
Entah untuk yang ke berapa kalinya, di bulan yang sama, aku dilarikan ke
klinik.
Penyakit yang
sama, yang sangat membahayakan untukku. Kukira dia tidak akan datang lagi,
selama ini aku selalu menjaga pola makan dengan baik. Tapi sore itu vonis
dokter benar-benar mengejutkan. Dia naik level. Keren! Dari akut ke kronis.
Tuhan… Cobaan apalagi yang Kau berikan. Hanya karena masalah kecil, dia bisa
datang lagi, menghantui diriku selama satu bulan, sepanjang Mei 2016.
Ketika sedang
berada di ruang pemeriksaan, handphoneku berbunyi, sekali, tidak kuangkat. Ke
dua kalinya ketika dokter sudah selesai memeriksa, aku pamit keluar untuk
menjawab panggilan masuk.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
“Ini siapa ya?”
Tanyaku, karena nomornya tidak terdaftar di kontak.
“Hayo tebak
siapa?”
“Siapa?” Tanyaku
lagi.
“Masa nggak kenal
sih sama suaranya.”
Aku berpikir dan
mengingat sebentar. Nihil. Aku tidak mengenalinya.
“Ada apa?”
“Sudah tau belum
siapa? Haha.”
“Eh bentar.”
Sepertinya aku mendengar suara lain selain dia.
“Jack?”
“Yup benar! Haha.”
Setelah berhasil
menebak siapa yang menelpon, Jack langsung menjelaskan maksud dan tujuannya.
Sedikit bingung saat awalnya dia bertanya perihal paspor. Aku memang punya,
namun untuk apa.
Tidak lama
kemudian aku mengerti maksudnya. Awalnya rada sedikit tidak percaya ketika Jack
mengajakku untuk ikut mendaftar sebagai salah satu peserta vokasi menulis
kemendikbud, untuk program paket c dan pendidikan berkelanjutan 2016.
Aku sudah tahu ada program itu ketika hari minggunya
bermain ke Rumah Dunia. Tapi saat itu aku masih seperti bermimpi. Benarkah aku
diajak sebagai salah satu dari seratus peserta lainnya.
Dokter memanggil
sebentar untuk memastikan surat istriahatku. Iya, saat itu aku
benar-benar harus bedrest. Setelah
oke dan Mama keluar dari ruang pemeriksaan, kuceritakan siapa yang menelpon
tadi dan beliau tidak percaya.
“Iya, Mah. Aku
diajak untuk ikut beasiswa vokasi menulis yang diadakan oleh Kemendikbud, Rumah
Dunia dipercaya untuk mencari seratus pesertanya dan aku terpilih.”
Ruang tunggu di
klinik yang semula hening, jadi rusuh karena suara cemprengku. Sebagian pasien
melihat ke arahku. Aku nyengir, memelankan suaraku.
“Kapan berangkat?”
“Seminggu lagi.
Tapi nanti tiga hari di Rumah Dunia dulu, baru habis itu berangkat ke
Singapore. Ini sepulang dari klinik aku diminta
mengirimkan foto paspor dan KTP.” Jelasku sambil menunggu obat.
“Tapi kamu kan
sudah tiga minggu sakit-sakitan mulu. Nanti di sana makannya bagaimana? Perut
kamu kan harus diisi makanan terus, nggak boleh kosong.” Nada suara seorang Ibu
jelas terdengar sangat khawatir.
“Tenang, Ma.
Anakmu ini bisa mendadak sembuh kalau travelling.
Haha.” Aku berdiri mengambil obat, kali ini dosisnya dinaikkan.
Pulang dari
klinik, kuceritakan perihal beasiswa ini ke Papa. Wajah beliau? Datar. Haha.
Memang begitu. Tapi disaat bersamaan dia juga khawatir dengan kondisiku.
Namun kuyakinkan
mereka lagi. Bahwa aku baik-baik saja. Bahkan aku sempat bilang, kalau travelling kali ini adalah obat paling
jitu untuk menyembuhkan sakitku ini. Daripada di rumah saja. Anakmu kurang
piknik, Mak :D
***
H-3 sebelum
menginap di Rumah Dunia, badanku down
lagi. Obat dari klinik masih tidak mempan. Rasanya ingin sekali pergi ke RS
Syarif Hidayatullah yang berada di seberang kampusku. Karena dulu, ketika di
vonis penyakit yang sama dan bertemu dengan dr. Denny, hanya cukup berobat
sekali aku langsung sembuh. Tapi kondisi dan jadwal praktek yang tidah pernah
tepat mengurungkan niatku untuk pergi dan memilih RSUD Cilegon untuk berobat.
Sebelumnya aku
pergi ke Puskesmas dulu untuk meminta rujukan. Namun ternyata pihak Puskesmas
tidak memberikan rujukan, aku disuruh makan obat sekali lagi. Kalau tidak
mempan juga, baru dirujuk.
Tidak ada pilihan
lain, aku menurutinya.
Dan keajaiban itu
datang. Pagi harinya ketika akan pergi menuju Rumah Dunia, aku sudah tidak
mengalami mual dan muntah di pagi hari, begitu pun ketika siang harinya.
Acara tiga hari
di Rumah Dunia dan Jakarta pun berjalan lancar, tanpa keluhan yang sempat
kualami.
***
H-1 sebelum
keberangkatan, aku izin pamit pulang karena masih harus menyelesaikan kerjaan
kantor. Malam harinya baru diantar oleh kakak, khawatir kalau sakitku datang
lagi. Namun aman. Obat tentu masih kubawa sebagai penjagaan kalau tiba-tiba dia
datang.
Selepas shalat
subuh, aku sudah berkelana mencari sarapan. Kutemukan yang jualan uduk di
samping Rumah Dunia. Aku memakannya, tanpa memakan obat terlebih dahulu. Sedikit
nyeri, namun masih aman. Tanda-tanda itu tidak muncul. Oke. Aku bungkus satu
lagi untuk memakannya di pesawat, karena di bandara tidak ada makanan yang
seharga tujuh ribu rupiah :D
Changi Airport 31 Mei 2016
Akhir Mei,
bagaikan sebuah mimpi bisa kembali berada di Changi Airport. Setelah di awal
bulan berjuang penuh melawan sakit, akhirnya Allah memberikan rencana
terbaik-Nya, untukku. Bukankah disetiap kesedihan akan ada kebahagiaan?
Dan masih ada the
power of doa.
Terima kasih
Rumah Dunia dan Kemendikbud
Sentosa, 1 Juni 2016
Clark Quay, 2 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar