Langit
di kampus biru mulai gelap, namun hingar bingar masih saja kutemui di setiap
kaki melangkah. Entah alasan apa yang menuntunku untuk menginjakkan kaki di
kampus. Padahal aku sudah tak ada kepentingan lagi, selain mengurus revisi
tentunya. Namun hari ini aku tak berniat sama sekali untuk menyentuh skripsiku
yang sudah jamuran.
Siang
tadi, aku bertemu dengan salah seorang teman seperjuangan yang sidangnya hanya
beda tiga hari sebelum aku. Ketika mengetahui dia akan ikut wisuda 97, rasanya
ada sesak di dada. Tuhan.. Mengapa aku
tak bisa mendaftar pada wisuda 97. Batinku menjerit.
“Sha,
revisi sudah selesai?” Tanya Tia ketika kami berpapasan di depan ruang prodi.
Aku
hanya tersenyum masam.
“Sha,
kamu itu bisa loh ikut wisuda 97. Pepetin aja dosennya.” Timpal Fani yang saat
itu juga hendak mendaftar wisuda.
Lagi,
aku masih diam tak menjawab pertanyaan mereka.
“Sha?
Jawab dong!”
“Eh…
Sorry.” Jawabku gelapan. “Nanti aja deh, gue wisuda setelah ada yang lamar
gue!” Huahahaha.
Spontan
aku langsung kabur dari mereka, tanpa pamit. Bukan aku tak menghormati mereka,
hanya saja… Ah sudahlah. Aku wisuda November saja setelah revisi ini
benar-benar selesai.
***
Di
pertengahan Agustus, aku kembali bertemu dengan Rani. Setelah dia bercerita
panjang kali lebar perihal bang Roma, dia menyerempetkan sebuah pertanyaan yang
sebenarnya sudah tak ingin aku dengar.
“Sha,
kok masih betah nge-jomblo?”
Deg!
Kali ini aku yang terdiam.
“Cari
pacar lagi sih daripada ngegalau nggak karuan. Hehehe.”
“Duh,
Ran, kenapa harus bahas pacar sih? Males ih dengarnya.” Aku langsung pergi
meninggalkan Rani yang heran karena sikapku.
Entah
kenapa rasanya malas sekali mendengar perihal ‘pacar’ atau ‘jodoh.’ Bisa
dibilang ‘gue orang yang paling sensi kalau udah membahas dua hal tersebut.’
Yeah, selain karena trauma untuk jatuh cinta lagi, aku pun sudah tak ingin
punya pacar lagi. Patah hati yang terakhir kali itu, mampu merubah 90 derajat
sudut pandangku perihal cinta. Ah… cinta macam apa yang membuat orang sesakit
itu?
Dari
SMP, aku telah mengenal banyak orang, baik cewek atau cowok. Semua itu aku
kenal di organisasi sekolah atau kegiatan sosial yang aku lakukan di luar.
Puncaknya ketika kuliah, orang-orang yang aku kenal semakin hari semakin
banyak. Mereka yang datang sesaat, kemudian pergi lagi entah ke mana. Atau
orang yang masih stay di sekitar
kita.
Begitu
pun ketika aku resmi memasang predikat ‘High
Quality Jomblo.’ Ada beberapa laki-laki yang datang silih berganti ke
kehidupanku, berusaha mengambil perhatian bahkan hatiku dengan cara mereka
masing-masing. Namun itu semua justru membuatku semakin muak. Rasanya saat itu
ingin sekali berteriak “Berhentilah kalian merayuku!” Walau endingnya bakal ketawa juga.
Bukan
aku tak peka, bukan pula tak ingin jatuh cinta (lagi). Tapi sudah cukuplah
peristiwa satu tahun yang lalu kujadikan sebagai pelajaran. Ah… Patah hati itu
tak enak!
“Sha,
tunggu dong!” Teriak Rani berusaha mengejarku.
“Apalagi?
Mau ngenalin gue sama siapa lagi? Kek gue nggak laku aja.” Aku sewot, seolah
mengerti akan menjurus ke mana obrolan kami.
“Ih…
Nggak gitu. Kali ini benaran deh beda. Bukan kaya cowok-cowok yang udah lu
kenal.”
Aku
diam sebentar, melirik tajam ke Rani.
“Huahahaha
sudah ah bosen dengar hal-hal yang berbau cowok dan jodoh.” Aku melanjutkan
langkah kaki yang entah akan pergi ke mana.
“Lo
mau gue ta’arufin nggak?” Teriak Rani ketika aku sudah mulai menjauh darinya.
Samar-samar
aku masih mendengar apa yang keluar dari mulut Rani. Ta’aruf? Tanyaku dalam hati.
Aku
berhenti. Rani berlari kecil mengejarku.
“Gimana,
Sha? Lo mau gue ta’arufin nggak?”
Aku
diam. Tak tau harus jawab apa. Memang untuk saat ini aku memang tak ingin untuk
punya pacar, hanya saja kalau untuk ta’aruf lalu menikah… Itu belum pernah
terlintas dipikiranku.
Ah
Rani…
Waaaaah... begitu ya Kak ceritanya.. Luar biasa.. :)
BalasHapusHihi apa kak? 😃
HapusLoh, ada Dani jugak di sini :)
Hapusbukanbocahbiasa(dot)com
Halo mba Nurul
HapusSalam kenal :D
Terima kasih sudah mampir di blog yang isinya curhatan semua :D