Oleh: Gita Rizki Hastari
Tentang
rasa yang tak sempat disampaikan kepada tuannya. Tentang rindu yang tak pernah
terbalas sedikit pun. Tentang mengikhlaskan kepergian yang belum sempat
dirasakan.
“Ah…”
“Rin,
kamu kenapa?” Salma memandangku dengan heran.
“Eh…
Ng… Nggak kenapa-kenapa ko.”
Lalu
kini pada siapa aku keluhkan semua perasaan yang menghantuiku setiap hari.
Entah, aku tak pernah bisa menceritakannya. Bahkan kepada Salma, sahabat
terdekatku, aku tak bisa.
Pict by Google
Sungguh,
kalau pun aku bisa melarangnya mungkin hal ini tak akan terjadi. Namun aku bisa
apa, aku bukanlah siapa-siapa yang berhak melarangnya untuk pergi ke Ibu Kota.
Bergabung bersama ratusan bahkan jutaan umat Islam dari berbagai penjuru di
Indonesia. Jihad, begitu katanya.
Tragedi
4 November lalu telah menorehkan sejarah besar bagi Indonesia. Konon katanya
ini pertama kalinya suasana Ibu Kota dibanjiri jutaan umat muslim dari berbagai
daerah di Indonesia. Mereka berbondong-bondong datang ke Jakarta untuk sebuah
keadilan.
Aku
pun ikut merasakan suasana itu walaupun hanya dari televisi. Ibu Kota yang
setiap harinya dipadati oleh kendaraan roda dua dan empat, hari itu berubah
seketika dipenuhi dengan lautan manusia. Persis seperti berada di Makkah,
ketika musim haji datang.
Seperti
yang telah banyak diberitakan di media masa, konon katanya pemicu awal
terjadinya demo tersebut dilatarbelakangi oleh Gubernur Jakarta yang dengan
gampangnya melecehkan Al-Qur’an. Padahal telah kita ketahui, bahwa orang
tersebut bukanlah dari golongan umat Islam.
“Dibohongin
pakai Al-Maidah ayat 51, macam-macam itu…” Sepintas seperti itulah perkataannya
dibeberapa video yang aku lihat.
Entah,
aku tak ingin membahasnya lebih lanjut. Pun jika harus menafsirkan Q.S
Al-Maidah ayat 51, aku tak begitu pandai. Aku hanya bisa memahami isinya yang
kuketahui kita, sebagai umat muslim dilarang menjadikan non-muslim sebagai
pemimpin.
Aku
pun dulu sempat bertanya-tanya, mengapa demikian? Toh pemimpin yang sekarang
hanya sebagai Gubernur atau bos di tempat kita kerja, bukan sebagai pemimpin
agama. Namun seiring berjalannya waktu, aku memahaminya.
Pegangan
mereka beda, bukan Al-Qur’an. Lantas pasti ada dalam beberapa aspek kehidupan
yang bertentangan dengan kami sebagai umat muslim. Seperti dulu ketika temanku
kerja, atasannya yang non-muslim melarangnya untuk memakai hijab, tentu kalau
pemimpin kita Islam pastilah tak akan melarangnya.
Ah… Apapun itu, aku tak
mau memperdebatkannya panjang lebar. Aku hanya ingin dia kembali, sudah gitu
saja.
“Dia siapa?” Tanya Salma
setelah akhirnya aku memberanikan diri untuk menceritakannya.
Dia, seseorang yang
telah lama kukagumi diam-diam, tentu tanpa dia sadari. Aku mengaguminya atau
menyukainya. Entahlah, kadang aku sendiri tak mengerti tentang perasaan yang
aku alami.
Kami hanya sebatas
teman, kenal dengannya pun tanpa disengaja. Jangankan bertemu, berkomunikasi
pun jarang. Lantas bagaimana bisa rasa ini hadir begitu saja, memikirkannya
hampir setiap saat.
‘Tuhan…”
Batinku kini menjerit.
Romy, namanya.
Laki-laki berperawakan arab, tinggi dan sedikit berjenggot. Dialah yang selama
ini terus-terusan hinggap dipikiranku.
Lantas sekarang,
semenjak kejadian itu dia tiba-tiba lenyap bagaikan ditelan bumi. Sejak
kejadian 4 November, aku sama sekali tak bisa menghubunginya. Hilang, entah ke
mana.
Sore itu aku berniat
mencari kabar tentangnya. Namun nihil yang kudapati. Teman-temannya memberitahu
bahwa selepas kejadian itu, dia hilang. Tentu, berita ini tak ada di media masa
mana pun. Siapa sih yang mau memberitakan seorang karyawan biasa yang bukan
dari organisasi manapun. Kalau ada sekali pun, pasti orang yang meliputnya
kekurangan berita.
“Romy,
kamu di mana? Aku rindu.”
Aku masih mengingatnya,
sore hari setelah aksi damai itu berlangsung, tiba-tiba saja kerusuhan terjadi.
Ada yang bilang provokatornya adalah orang dari salah satu organisasi Islam.
Namun faktanya mereka hanyalah orang-orang bayaran yang lagi-lagi ingin
menjatuhkan Islam dan menyalahkan Islam bahwa demo yang kami buat berakhir
rusuh.
“Apa mungkin di saat
kejadian itu, Rin? Dia ditangkap oleh salah satu oknum.” Tanya Salma kemudian.
“Entahlah…” Suaraku
menggantung dilangit-langit bilik kamar.
Romy,
di mana pun kamu berada sekarang, aku selalu mendoakan yang terbaik untukmu.
Semoga kejadian 4 November lalu bukanlah penyebab hilangnya dirimu. Mungkin
kamu hanya ingin sendiri, berdiam di suatu tempat tanpa ada seseorang pun yang
mengganggu. Entahlah.
Kembalilah, Rom. Aku
Rindu, selalu merindukanmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar